Pada Kamis, 20 September 2012 yang lalu Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah mengadakan acara "Kuliah Iftitah". Kegiatan ini menandai dimulainya kegiatan perkuliahan di fakultas Adab dan Humaniora pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013. Yang menjadi tema dalam kegiatan ini adalah: "Ketika Sastrawan Bertemu Pembaca". Maksud dan tujuan dari perkuliahan ini adalah membangkitkan minat mahasiswa terhadap sastra atau menulis kreatif lainnya. Sastra mempunyai peran besar dalam menumbuhkan sifat-sifat humanis terhadap sesama.
Acara yang dihadiri oleh sekitar 230-an mahasiswa itu dibuka oleh Dekan FAH, Prof. H.J. Suyuthi Pulungan, M.A. dan dihadiri oleh para pembantu dekan dan beberapa orang dosen.Kuliah iftitah itu juga diliput oleh beberapa media persuratkabaran Sumsel, seperti: Sumatera Ekspres.
Pada kesempatan ini Drs. Anto Narasoma -pecinta sastra dan sastrawan Sumatera Selatan- diundang untuk menyampaikan kuliah perdana itu. Adapun materi lengkap perkuliahan Mas Anto itu adalah sebagai berikut:
Karya Brilian Seorang
“Hamba Sastra”
Oleh:
Anto Narasoma
MENYANDANG
predikat sastrawan tidak segampang jika seseorang menyebut kata sastrawan itu
sendiri. Sebab, sebagai abdi dalam dunia kesastraan, seorang sastrawan bertugas
menyampaikan pesan moral, baik diproyeksikan lewat kepribadiannya sendiri
sebagai seorang hamba Tuhan (Allah SWT), maupun esensi kepribadiannya yang
tercermin melalui sebuah karya tulis.
Ada
dua momen yang dirasa sorang sastrawan ketika ia merenungkan dirinya sebagai
manusia. Sebagai seorang manusia yang
menghambakan dirinya kepada Sang Pencipta (Allah), ia harus melihat batang
tubuhnya (jasad) sendiri sebagai nasihat kehidupan.
Sebagai
hamba Sang Mahahidup, di dalam dirinya, terdapat sosok pribadi yang disisipi
sekeping ruh. Ruh inilah yang memperlihatkan nilai hidup. Refleksi ruh yang ada
di diri seorang (sastrawan) menyertakan nasihat hidup yang luar biasa, berupa
karunia panca indra.
Belajar
dari karunia inilah, seorang sastrawan akan terus belajar dari panca indranya
sebagai nasihat hakiki. Belajar dari indra rasa, jika dirinya sakit dicubit,
maka ia tidak ingin mencubit diri orang lain. Dan, ketika ia menyimak indra
penglihatan, apabila ia melihat orang buta, Masya Allah, ia harus bersyukur
bahwa dirinya mampu melihat segala persoalan hidup yang seharusnya bisa membuat
dia menjadi lebih bersyukur dan dewasa.
Secara
sistematik, karunia itulah yang dapat menggerakkan kata hati (SQ), pikiran (IQ)
dan emosi pribadi (EQ). Perangkat inilah yang dimiliki seorang sastrawan ketika
ia tengah merenungkan diri untuk mengekspresikan beragam corak karya tulisnya.
Sebab,
sasaran utama yang menjadi tujuannya adalah bagaimana mengetengahkan karya
tulis yang bermuatan moral ke semua segmen pembacanya.
Bagi
sastawan, hidup mati karya tulisnya ditentukan oleh penilaian pembaca. Sebab,
respons pembaca akan memberikan nilai bagus atau tidaknya karya yang ia baca.
Karena itu, sebelum ia menghadirkan
karya brilian untuk pembacanya, semua sinyal berupa panca indranya akan
dikerahkan untuk menangkap sejumlah faktor persoalan yang berkembang di luar
dirinya. Faktor inilah yang menjadi bahan menarik untuk dijadikan pesan moral
ke dalam karyanya.
Meski
berkutat dengan kata, kalimat dan berbagai persoalan karya seorang sastrawan
tak terlepas dari nilai-nilai estetika. Sebab, keluwesan dan kelenturan
bahasanya mencirikan nilai keindahan yang disebut estetika.
Lantas,
bagaimana karya yang ia tulis mampu menjelaskan segala persoalan dalam konteks
seni, psikologi, kultur dan kemusiaan (humanis)? Seperti yang disebut di atas
bahwa getaran sarana indera yang ada di dirinya akan menangkap jaringan masalah
yang ia kemas dengan beragam tutur cerita. Dari sinilah beragam pesan akan ia
ungkap lewat berbagai sudut pandang yang dipoles secara estetik.
Secara
estetik, karya yang ia tulis akan mampu menjabarkan nilai-nilai kemanusiaan,
alam, hewan dan kehidupan secara metaporik. Karena itu sentuhan-sentuhan nilai
yang ia urai dalam tulisan kerapkali berbicara tentang kita (manusia), alam dan
kehidupan.
Tak heran ketika ia menulis tentang
kemanusiaan yang ia ceritakan dalam uraian itu, seolah penggambaran tentang
diri sendiri yang juga dirasakan orang lain.
Indra Rasa
Kali
pertama seorang sastrawan mengungkap ide tuturan di dalam karyanya, ia akan
menyimak terlebih dulu indera rasa yang ia miliki. Sebab, secara teoritik,
upaya ini sangat penting dilakukan karena rasa dan perasaan yang ada di dalam
dirinya akan mengisyaratkan ke dirinya sendiri bahwa apa yang ia rasakan tentu
akan dirasakan oleh orang lain juga.
Ketika
ia menulis tentang kepedihan nasib orang lain yang dilanda kemiskinan, indera
rasanya mengisyaratkan bahwa apa yang dirasakan orang akan sama dirasakan
olehnya sendiri.
Maka
itu pembacanya akan terhipnotis ketika ia membaca karya tulis si sastrawan,
karena persoalan (berupa fiksi) yang ia tulis akan menceritakan tentang
kemanusiaan secara detil.
Memang,
karya tulis yang diwarnai sentuhan indra rasa, biasanya akan mengungkap beragam
persoalan menjadi persoalan diri pribadi sang pembaca sendiri. Mengapa begitu?
Yah, apa yang dipaparkan sang sastrawan dalam tulisannya seolah menjelaskan
ikhwal kejadian yang pernah ia lihat.
Padahal
karya tulis sang sastrawan, direka secara intuitif didasarkan atas karangan
semata (fiksi). Namun lebih dari itu, ternyata kesan yang didapat pembaca
ketika ia selesai membaca buku tersebut, seolah menyentuh pengalaman batinnya
sendiri. Itulah kehebatan getar-getar batiniah pembaca yang muncul dari indra rasa yang ada di dalam
dirinya.
Hakikatnya,
ketika seorang penulis (sastrawan) ingin merangkai sebuah karya tulis, ikhwal
pertama yang perlu ia sadari adalah sarana rasa yang ada di dirinya. Sebab,
bahan-bahan tulisan yang sudah tersedia akan menjadi kental setelah peran indra
rasa menyentuh kepada episode cerita yang akan dipaparkan sastrawan.
Lantas,
bagaimana kita mencari inti rasa untuk merangsang insprirasi dalam menggiring
tumpukan ide yang bertaburan di luar diri seorang sastawan?
Tak
terlalu berlebihan apabila sebelum menulis seorang sastrawan perlu meraba dan
menyentuh kepekaan indra rasanya. Dari sanalah ia akan merasakan nilai
kemanusiaan pribadinya (human interest) sebagai alat untuk mengukur rasa dan
keinginan pribadi orang lain (pembaca).
Nilai
inilah yang akan ia tumpahkan ke dalam karyanya. Artinya, karya yang ia
hasilkan tidak hanya sekadar tulisan yang memaparkan berbagai persoalan, tapi
ketika pembaca menikmatinya pesan moral yang terdapat di dalamnya akan membekas
sebagai gambaran bagi pelajaran hidup mereka.
Lantas,
bagaimana cara sastrawan menyatukan perasaan dan pikirannya ketika ia hendak
memulai merumuskan bahan tulisan ke dalam karyanya? Pertanyaan ini memang
menarik. Sebab, di balik pertanyaan itu ada upaya untuk mengetahui tentang
sedalam apa rumusan pikiran seorang sastrawan yang berusaha keras untuk
mengolah bahan (inti persoalan) ke dalam tulisannya.
Bahkan.
pertanyaan itu pun dapat mencerminkan cara untuk mengetahui kekuatan perasaan
dalam memasak inti persoalan yang tengah ia garap, sehingga tumpukan ide dapat
dijadikan bahan bacaan yang menarik setelah dijadikan karya tulisan.
Dalam
hal menulis, sarana pikiran dan perasaan yang dimiliki seorang sastrawan merupakan
kekayaan yang tak pernah habis. Jika ide dan kreativitasnya masih hidup. Dan,
apabila usia kehidupan sastawan masih terus bergulir, maka pikirannya akan
terus menangkap berbagai persoalan yang berseliweran di sepanjang pengalaman
batinnya.
Pokoknya,
pahit getir pengalaman yang ia tangkap dari perjalanan hidupnya, akan menjadi
limpahan karya yang tak ternilai jumlahnya. Ketika ia pernah mengunjungi
sejumlah objek wisata budaya dari berbagai negara, misalnya, semua gambaran
yang ia saksikan, akan terekam ke dalam pikirannya. Jika tiba-tiba muncul
inspirasi untuk membentuk ide tulisannya, ia sudah tahu arah gerak yang harus
ia lakukan.
Sebagai
penulis, sastrawan dapat menuangkankan idenya ke dalam berbagai corak tulisan.
Bisa saja gambaran pengalamanya dapat dituangkan menjadi puisi, cerpen, novel
atau esai budaya. Pokoknya ia tidak akan terikat dengan format dan bentuk
tulisan apapun. Jika ia ingin menulis puisi, maka pengalaman batinnya akan
tergambar di puisi tersebut. Andaikan ia ingin menumpahkannya ke cerpen, novel
atau esai, gambaran itu akan terbaca jelas sebagai bentuk nilai karsa dan
prakarsa batinnya.
Mengolah Karsa
Bagi
sastrawan, peninggalan benda arkeologi tidak hanya diraba sebagai bentuk
peninggalan pra sejarah saja, tetapi lebih dari itu, candi, prasasti, artepak dan tembikar, misalnya, merupakan
wujud sarana yang dapat mempertajam karsa (gairah).
Ketika
ketajaman karsa itu meneropong benda-benda bersejarah tersebut, yang terlihat
adalah cerminan kekayaan nilai budaya. Secara estetik, kekayaan itu mampu
menerjemahkan benda sebagai dialog keilmuan yang teramat dalam. Lantas,
bagaimana menerjemahkan “dialog estetis” itu ke dalam sudut pandang karsa?
Karsa
adalah gairah yang mencuat ketika terjadi sentuhan hal menarik dari luar diri
kita. Ketika kita melihat benda-benda prasejarah yang unik dan menarik, karsa
inilah yang memunculkan ide dalam bentuk inspirasi. Dari sinilah akan muncul
sebuah karya sastra yang berkuat dengan kekayaan imajinasi. Jika sebuah karya
sastra tercipta dari kekayaan imajinasi penulisnya (sastrawan), ketika
dinikmati pembaca, akan muncul dialog hati (kata hati) sebagai pertanyaan.
Apakah karya ini sebuah fakta atau memang fiksi murni? Dan, apakah tulisan ini
memang fiksi yang difaktakan?
Itulah
hebatnya. Ketika seorang sastrawan membuat subuah karya dengan kedalaman
estetika di dalam dirinya, maka antara penulis dan pembacanya akan terjadi
dialog tidak langsung. Inilah pertemuan estetik antara karya (mewakili
sastrawan) dan pembaca.
Jadi,
sastrawan dan pembaca merupakan dua mata uang yang tak dapat dipisahkan. Karya
sastra tanpa pembaca, ibarat ikan dipisah dari air. Pembaca tanpa bahan bacaan,
sama halnya dengan pikiran tanpa wawasan. Maka secara resensif, mati atau
hidupnya sebuah karya sastra akan ditentukan dari sikap dan persepsi
pembacanya. Karena itu tak ada ceritanya jika seorang pembaca yang sudah
menikmati bacaannya akan mengatakan karya itu bagus jika faktanya memang buruk.
Ketemu Pembaca
Pembaca yang terobsesi oleh bacaannya, biasanya akan
muncul rasa ingin ketemu penulisnya. Sebab, kesan mendalam yang terpatri itu
akan mendorong rasa ingin tahunya tentang seperti apakah latar belakang sang
penulis?
Munculnya keingin seperti itu sangat wajar. Sebab, dalam
konteks bahan bacaan yang dirasa oleh pembaca, apa yang ia nikmati itu hanya
sebatas persoalan yang tergambar secara tertulis. Meski, begitu semua gambaran yang menarik di
dalam tulisan itu akan memunculkan rasa ingin tahu tentang siapa sebenarnya
penulis buku yang menarik hatinya setelah selesai ia baca.
Ada dua pintu masuk bagi pembaca untuk bertemu dengan
penulisnya (sastrawan). Pintu masuk pertama adalah menikmati sebuah karya
(ketemu penulis secara estetika).
Dalam karya tulis, biasanya sang sastrawan selalu
menyajikan seluruh pengalaman batinnya. Apa yang ia rasa secara pribadi
(intrinsik), biasanya ia kelola sebaik-baiknya untuk dituturkan secara logika
(human intelegencia). Misalnya, ketika mengumpulkan bahan tulisan, seorang sastrawan
selalu berbisik ke hatinya sendiri
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Karena
itu, ketika bahan itu sudah diendapkan ke dalam pikiran dan perasaannya, secara
otomatis nilai spitual dirinya akan menuturkan alur tulisannya sesuai dengan
nilai-nilai kehidupan. Inilah kekuatan sebuah karya yang sebelum ditulis, semua
bahannya diendapkan secara empiris terlebih dulu. Karena itu, ketika sudah
dijadian buku, tulisan itu akan membawa pembacanya ke dalam dunia kehidupan
yang seolah pernah dialaminya sendiri.
Dalam
kata pengantar di buku kumpulan cerpen Anto Narasoma berjudul “Tamu Misterius
dari Laut Lepas”, Prof Dr Maman S Mahayana (sastrawan/dosen sastra Indonesia di
Universitas Seoul Korea) mengatakan, cerpen ini seolah menghadirkan fakta di
dalam fiksi. Kumpulan cerpen itu berbicara tentang manusia, kehidupan dan
seabrek pengalaman yang ada di diri pembacanya sendiri (Seoul, 20 Maret 2005).
Maka tak heran ketika jumpa dengan penggemarnya
(pembaca), sastrawan selalu berbicara tentang kekuatan karyanya yang bersumber
dari kehidupan dan kemanusiaan. Sebab, pahit getir kehidupan yang pernah ia
rasakan, biasanya akan selalu membekas. Suatu ketika, disaat muncul inspirasi
untuk menulis, maka karsa dan emosi dirinya akan meluapkan ide-ide brilian itu
ke alur tulisan yang dapat mengesankan perasaan pembacanya. (*)
Palembang, 19 September 2012
@
Anto Narasoma
Lahir di Palembang, 16
Juni 1963
Pekerjaan : wartawan
Hobi : membaca, menulis, baca puisi
Main teater dan sebarek
kesukaan
Istri : Syarifah Abdullah
Al-Ba’bud
Lahir di Palembang, 24
Maret 1969
Pekerjaan :Instruktur
senam
Ibu rumah tangga
Anak:
Ahmad Febriansyah
Narasoma (masih kuliah)
Dede Hidayat Narasoma
(masih kuliah)
Fitri Amelia Narasoma
(masih SMA)
Pernah sekolah di SD
(1975), SMP (1979),
SMA (1984) dan terakhir
kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu
Publisistik (STIP)
Bandung (1988).
Hobi menulis sejak kelas
3 sekolah dasar. Pernah jadi juara
menulis pantun
antarsekolah 1973, juara baca puisi
pelajar se-Kota
Palembang (1973). Aktor terbaik
se-Sumsel
(1991) pada Festival
Teater Forum Komunikasi Teater (FKTS),
Aktor terbaik gerak
karikatur pada Festival Teater Sampakan
1995 di Lamongan Jawa
Timur, dst.
Pernah membaca puisi di
Lamongan dan Surabaya pada
acara Jumpa Sastrawan
Nasional (1987), ikut Festival Teater se-Sumsel
versi FKTS Sumsel di
LubukLinggau (1985), jadi pembicara
tentang sastra nasional
di Pekanbaru Riau (1990), Temu Penyair
Indonesia di Cianjur Jawa Barat (1994), baca genre puisi
Melayu di Patthani Tailand Selatan (1997), baca puisi Melayu di Guangzhou China
Selatan
(2007), temu penyair dan
baca puisi di TIM Jakarta (2009),
Pertemuan Penyair
Nusantara (PPN) ke-V di Kuala Lumpur Malaysia
(2010)..dst.
Buku:
Umumnya, sejumlah tulisan
sastra telah diterbitkan di berbagai
media lokal dan nasional.
Kumpulan puisi ‘Aku Terbelit Rindu’
(1979), ‘Bahasa Angin’
(1992), Kumpulan puisi ‘Empat Wajah’ (2002),
Syair Tsunami (2005),
Kumpulan puisi ‘Semangkuk Embun’ (2009)
dan Kumpulan Cerpen ‘Tamu
Misterius dari Laut Lepas’ (2010)..dst.