KERATON
KESULTANAN PALEMBANG
SEBAGAI PUSAT
STUDI ISLAM DAN SASTRA*)
Oleh:
Maryani Sujiyati
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
IAIN Raden Fatah Palembang
A.
Pendahuluan
Kota Palembang pada masa kesultanan
terkenal sebagai pusat intelektual Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Beberapa di
antaranya dapat disebutkan nama-nama Syaikh Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin,
Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad (1811-1874 M), Masagus Haji Abdul
Hamid bin Mahmud (1811-1901 M); dan ulama yang paling terkenal di Palembang
adalah ‘Abd al-Shamad al-Palimbani.[1] Ulama-ulama ini mempunyai
otoritas cabang keilmuan agama Islam yang beragam. Mereka ada yang ahli dalam bidang
ilmu falaq, ilmu syari’ah, dan ilmu tasawuf. Pemikiran-pemikiran mereka
berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Islam di Sumatera Selatan pada
umumnya hingga sekarang ini.
Namun, kondisi dan situasi tersebut
berubah ketika Keraton Palembang diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda
pada 1820-an. Pada
masa ini Belanda tidak memberi perhatian pada pengembangan keilmuan agama. Meskipun pada masa ini masih
muncul beberapa ulama, tetapi mereka muncul dari kalangan rakyat kebanyakan.
Mereka tidak mendapat lagi tunjangan biaya pendidikan selama dalam proses rihlah ilmiah. Pada masa ini juga muncul
kelompok ulama penghulu. Namun,
kelompok ulama ini lebih disibukkan oleh urusan-urusan birokrasi keagamaan daripada
pengembangan keilmuan Islam. Mereka
mengurusi masalah-masalah pernikahan, perceraian, pembagian warisan, dan
menasihati Residen Palembang dalam urusan-urusan kegamaan. Karena itu, kelompok ulama
ini pun mendapat gaji dari pemerintahan Hindia Belanda.
Tulisan singkat ini akan
menganalisis peran Keraton Palembang dalam pengembangan keilmuan agama Islam dan sastra. Kebijakan apa saja yang
dilakukan oleh pihak keraton dalam mendukung perkembangan keilmuan itu sendiri.
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah: bagaimana peranan Keraton dalam mendorong perkembangan
intelektual. Tujuannya adalah untuk mengetahui tentang
peranan Keraton dalam mengembangkan kajian keislaman dan sastra. Untuk tujuan ini, pendekatan
sejarah sosial intelektual perlu digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas.
B.
Pembahasan
Kota Palembang adalah sebuah kota tua di
Nusantara. Kota ini mempunyai
sejarah panjang dalam khazanah
budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan, bahkan
ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Nama ataupun toponim
Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat (Pa yang berarti suatu kata awal
menunjukkan tempat). Kosakata lembang
berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang
tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air,
menetes atau kumparan air. Dalam bahasa Melayu lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam
karena dilalui air, tanah yang rendah.[2] Sementara itu,
menurut Sevenhoven Lembang adalah
berasal dari kata Jawa yang berarti membersikan biji atau logam dari tanah atau
benda-benda lainnya. Pa adalah suatu
kata depan yang digunakan oleh orang-orang Jawa dan Melayu, jika mereka hendak
menyebut suatu tempat.[3]Jadi,
dalam pengertian ini Palembang adalah tempat pendulangan emas dan biji timah, karena menurut cerita
Palembang merupakan tempat penghasil emas dan timah sejak dahulu.
Nama
Palembang meliputi seluruh daerah kerajaan, yang pernah dikuasai oleh Sultan Mahmud
Badaruddin, pemerintahan Hindia Belanda Sultan Husin Aliuddin dan yang di daerahnya
diperintah langsung oleh Sultan Ahmad Najamuddin. Palembang
pada masa kesultanan secara alami adalah kota yang indah. Ekologi yang
terbentuk dari anak-anak Sungai Musi yang masuk ke pusat kota merupakan
deskripsi menarik dari keindahan tersebut. Sebagai kota kesultanan yang secara
budaya mewarisi tradisi keraton Jawa, keraton menempatkan diri menjadi pusat
kekuasaan.[4]
Istana merupakan pusat
berkumpulnya para ulama dan penyair Islam di Kerajaan Melayu. Tradisi
ini tampak pula di Kesultanan Aceh dengan para ulama istana yang terkenal
seperti Nurruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf Singkel, Syamsuddin al-Samatrani, Hamzah Fansuri. Keadaan serupa ditemukan
pula di berbagai kesultanan Melayu lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan
bahwa hubungan yang erat antara keraton dengan para ulama dan penyair Islam
telah terjalin lama. Oleh
karena itu,
tidak heran bila keraton-keraton Melayu dikenal pula sebagai Pusat Studi Islam
dan Sastra Islam.[5]
Di dalam tradisi keraton Melayu,
menulis telah menjadi suatu pekerjaan keraton yang terhormat. Di kalangan istana-istana
tradisional Melayu penulisan kronik dan
puisi mungkin diperintahkan bahkan mungkin di bawah pengawasan raja, pangeran
atau bangsawan yang berkuasa, tetapi isi karangan tetap dipercayakan pada
seorang pengarang. Hanya
sesekali saja raja, anak raja dan keluarga raja terlibat langsung dalam aktivitas penulisan.[6]
Keraton sebagai Pusat Sastra
dan Ilmu Agama Islam, telah tumbuh seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
Islam di Nusantara. Munculnya
aktivitas ini karena Sultan memberikan perhatian dan dorongan. Meskipun demikian, tidak
setiap sultan bertindak serupa, sehingga terjadi pasang surut dan pasang naik
dalam perkembangan pendidikan Islam dan Sastra karena terpusat pada keraton. Setelah kemunduran Aceh,
Palembang muncul sebagai pusat studi Islam dan Sastra selama periode 1750-1820. Kebiasaan memelihara “Ulama
Keraton” telah dirintis sejak zaman Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757).
Pada masa inilah munculnya penulis Palembang, yaitu Syekh Syihabbuddin bin
Abdullah Muhammad yang telah menerjemahkan dan memberikan syarah kitab Jawharat al-Tawhid karangan Ibrahim
al-Laqani ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1750. Syekh Syihabbuddin tinggal di
Mekkah dan karyanya tersebar di Mekkah.[7]
Pada masa Sultan Ahmad
Najamuddin Adi Kesuma atau yang disebut juga Sultan Ahmad Najamuddin I
(1757-1774) muncul pula penulis Palembang, yaitu Kemas Fakhruddin yang
mengarang Kitab Muktashar. Kitab ini merupakan terjemahan
dari Risalah fi al-Tawhid karangan
Syekh Raslan al-Dimasyqi yang diperluas dengan komentar dari syarah Zakariyya
al-Anshari. Sultan
Muhammad Bahauddin (1774-1804) ketika masih menjadi pangeran Ratu telah
menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap Ilmu Agama dan dimasanya muncul pengarang
Palembang yang sangat terkenal,
yaitu Abd Shamad al-Palimbani. Al-Palimbani merupakan tokoh kunci pembuka dan pelopor perkembangan
intelektual Islam Nusantara.
Beliau dilahirkan pada 1116 H / 1704 M di Palembang.[8]
Al-Palimbani berperan aktif
dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah
airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada
umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Selain dua kitab tersebut di
atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman
al-Mu’minin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Dalam kitab ini, ia memperingatkan
pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam, seperti ajaran tasawuf yang
mengabaikan syariat, tradisi menyanggar
(memberi sesajen) dan paham wujudiyah mulhid
yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis
atas permintaan Sultan
Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia
memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk
menulis kitab tersebut.[9]
Selain penulis-penulis
Palembang di atas, Drewes masih menambahkan sembilan
pengarang Palembang,
yaitu: Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, Kemas Muhammad bin Ahmad,
Sultan Muhmud Badaruddin II, Muhammad Makruf bin Abdullah Khatib Palembang,
Ahmad bin Abdullah, Kyai Rangga Setyanandita Ahmad, Pangeran Tumenggung Karta
Menggala, Demang Muhiddin dan Van Ronkel masih menambahkan satu orang lagi, yaitu Kemas Hasanuddin.[10] Kalau dikelompokkan, maka
penulis-penulis Palembang tersebut dapat dibagi atas penulis kitab-kitab agama,
penulis sastra dan penulis sejarah.
Penulis
kitab agama adalah:
1. Syekh
Syihabuddin bin Abdullah Muhammad yang menerjemahkan dan memberikan syarah
kitab Jawharat al-Tawhid karangan
Ibrahim al-Laqani ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1750. Selain itu masih ada
kitab Risala dan kitab ‘Aqidat al-Bayan. Ketiga kitab ini
membahas masalah tauhid, ilmu kalam dan tasawuf. Pada akhir kitab Risala tertulis kalimat “ Tammat al-risla ta’lif tuan Syekh
Syihabuddin Jawi, rahmat Allah ‘alaihi
Intaha.” Kalimat ini menunjukkan bahwa penulisnya berada di Mekkah,
sebagaimana kebiasaan banyak ulama asal Indonesia yang menyebutkan daerah
asalnya di belakang namanya.[11]
2. Kemas
Fakhruddin yang mengarang Kitab
Mukhtashar yang merupakan terjemahan dari Risala fi al-Tawhid karangan Syekh Raslan al-Dimasyqi yang
diperluas dengan komentar dari syarah Zakariyya al-Anshari. Tulisan lainnya
adalahFutuh al-Sha’am karangan
Waqidi. Selanjutnya terjemahan Melayu kitab Tuhfat
al-Zaman fi Zharfahl al-Yaman, karangan
Ibn Shaddad al-Himyari dan kitab Khawash
al-Qur’an al-Azhim. Beberapa kitab tersebut ditulis atas permintaan
Pangeran Ratu, yang kemudian menjadi Sultan Muhammad Bahauddin.[12]
Kemas Fakhruddin mengembangkan ajaran tasawuf yang dikatakan berasal dari al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H/ 908
M), seorang tokoh sufi abad ketiga Hijriyah yang mengajarkan tasawuf yang
memandang keadaan sadar lebih utama daripada ekstasi, dan tetap membedakan
antara Tuhan dan hamba-Nya, di samping tetap mematuhi ketentuan-ketentuan
syariat.[13]
3. Abdus Shamad al-Palimbani menulis delapan
buah kitab: Zuhrat al-Murid fi Bayan
Kalimat al-Tawhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa
Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas permintaan pelajar Indonesia
yang belum menguasai bahasa Arab. Hidayat
al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, ditulisnya dalam bahasa Melayu pada
1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayat
al-Hidayah karya Al-Ghazali. Namun, di samping menerjemahkannya,
al-Palimbani juga membahas
berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip
pendapat al-Ghazali
dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu
sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah
kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat
Islam. Sair al-Salikin ila Ibadat Rabb al-‘Alamin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan
Haqiqat Iman al-Mu’minin,Nashihat al-Muslimin wa Tazkirat al-Mu’minin fi
Fada’il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabil Allah,
Al-‘Urwat al-Wasqa wa-Silsilat Uli al-Ittiqa, Kitab Ratib Abd Shamad al-Palimbani, semacam
buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat
Isya’, dan yang terakhir, yaitu Zad al-Muttaqin fi Tawhid Rabb al-‘Alamin,berisi ringkasan ajaran
tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.[14]
4. Muhammad
Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, menulis buku Hikayat Karamat Shaikh Muhammad Samman dengan Ikhtisar.[15]
5. Kemas
Muhammad bin Ahmad, menulis dua kitab yaitu Nafahat
al-Rahman fi Manaqib Ustazina al-Azham al-Samman dan kitab Bahr al-Aja’ib.[16]
6. Muhammad
Makruf bin Abdallah khatib Palembang, menulis kitab Tariqah yang dibangsakan kepada Qadiriyyah dan Naqsabandiyyah.[17]
Tulisan
mengenai fikih tidak ditemukan di antara kitab tersebut, walaupun salah seorang
di antara pengarang itu adalah Khatib (penghulu). Tulisan dalam bentuk hikayat dan syair
tampaknya muncul setelah periode penulisan kitab-kitab tersebut.[18]
Penulisan
dalam bidang sastra:
1. Sultan
Mahmud Badaruddin II, menulis Syair
Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Syair Nuri dan Pantun. Drewes menduga bahwa
kitab-kitab ini ditulis Mahmud
Badaruddin II setelah pengasingannya di Ternate.
2. Pangeran
Panembahan Bupati saudara Sultan Mahmud Badaruddin II, menulis Syair Raja Mambang Jawhari, Syair Kembang
Air Mawar dan Syair Patut Delapan.
3. Ahmad
bin Abdullah, menulis Hikayat Andaken
Penurat.
4. Kyai
Rangga Setyanandita Ahmad, menyalin kitab Hikayat
Mareskalek, karya Syekh Abdullah al-Misri yang
lahir di Palembang dari keturunan Arab.
5. Kemas
Hasanuddin, menyalin Hikayat Tuan Tilani dari
cerita yang ditulis di Jambi.
Penulis
dalam bidang Sejarah:
1. Pangeran
Tumenggung Karta Menggala, menulis Cerita
Negeri Palembang, Cerita dari pada Aturan Raja-raja di dalam Negeri Palembang
dan Hikayat Mahmud Badaruddin.
2. Demang
Muhyiddin seorang hakim pengadilan Palembang, menulis Silasila Raja-raja di dalam Negeri Palembang.[19]
Sebagai
suatu pusat sastra
dan ilmu agama, kegiatan kajian
agama cukup berkembang dan maju. Apalagi perhatian sultan cukup besar terhadap
agama, terbukti dari beberapa kitab yang dinisbahkan pemiliknya kepada Sultan
Mahmud Badaruddin II, Sultan Ratu Ahmad Najamuddin, Sultan Muhammad Bahauddin,
Pangeran Jayakrama,
dan Pangeran Arya Muhammad Zainuddin. Kitab-kitab itu tersimpan dalam perpustakaan
istana, sehingga pada waktu Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan Inggris,
koleksi itu banyak yang dirampas dan dibawa oleh armada kolonel Gillespie dan
dibawa ke Inggris (1812). Kemudian,
ketika Sultan Mahmud Badaruddin dikalahkan Belanda, maka seluruh koleksi istana
dirampas dan dibawa ke Batavia.[20]
Menurut
catatan Steenbrink, Keraton Kesultanan Palembang
sebagai pusat sastra dan ilmu
agama berlainan dengan
kebiasaan di Jawa yang menjadikan pesantren sebagai pusatnya. Belum ditemukan hubungan
keraton dan Masjid Agung dalam kaitan tersebut. Bisa jadi ada semacam
pembagian fokus perhatian atau kajian antara keraton dengan Masjid Agung. Keraton lebih memperhatikan
aspek sastra keagamaan dan tasawuf, sedangkan Masjid Agung pada aspek
peribadatan dan fikih. Keduanya berjalan dengan
sasaran yang berbeda,
sehingga tidak terjadi konflik. Apalagi Pangeran Penghulu Nata Agama dan Khatib Imam, serta khatib-khatib
yang lain diangkat oleh Sultan.[21]
Keraton
sebagai pusat sastra dan ilmu agama tampaknya merupakan ciri perkembangan Islam
yang berbeda dengan di Barat dan juga di Timur Tengah. Raja atau Sultan di Barat
dan di Timur Tengah tidak menjadikan keraton sebagai pusat ilmu, tetapi
membentuk lembaga pendidikan tersendiri untuk membantu pengembangan ilmu agama Islam. Lembaga pendidikan itulah
yang didorong oleh Sultan untuk mengembangkan ilmu. Dengan demikian, perkembangan ilmu berkembang
terus tanpa selalu tergantung dengan sikap dan perhatian raja terhadap ilmu. Boleh jadi, keraton bukan madrasah atau
pesantren yang dijadikan sebagai pusat sastra dan pengembangan ilmu agama Islam di Palembang, maka akibatnya
pengembangan sastra dan ilmu
agama Islam di daerah
Palembang kurang berakar.[22]
Perhatian sultan yang begitu
besar terhadap ilmu agama dan sastra tersebut, telah menjadikan keraton sebagai
perpustakaan. Perpustakaan
istana yang cukup besar itu dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin II (1804-1821).[23] Koleksi perpustakaan keraton
Palembang diketahui lengkap dan rapi dari laporan Van Sevenhoven ketika
mengirimkan kitab dan naskah hasil rampasan ke Batavia yang, antara lain,
menyebutkan:[24]
Lima puluh lima tulisan yang bagus sekali, diikat rapi dan dalam keadaan
baik yang berisi naskah Melayu dan Arab. Sungguh suatu
yang menakjubkan menyaksikan salah satu dari harta milik mantan Sultan
Palembang Mahmud Badaruddin.
Koleksi
perpustakaan Keraton
Palembang yang baik dan lengkap tersebut, dikuras serdadu Inggris di bawah
pimpinan Kolonel Gillespie ketika menduduki Keraton Palembang pada tahun 1812, setelah Sultan
Mahmud Badaruddin II dikalahkan dan menyingkir ke daerah uluan dan hanya sebagian kecil yang sempat diselamatkan. Koleksi
yang dirampas oleh serdadu Inggris sebagian kecil saja masih ditemukan di
British Libraries London.[25]
Selanjutnya, terjadi lagi perampasan
seluruh koleksi perpustakaan keraton Palembang ketika Sultan Mahmud Badaruddin
II dikalahkan oleh Belanda dan keraton disita serta sultan dibuang ke Ternate
(1822). Sisa
naskah dan kitab yang sempat diselamatkan ketika Inggris menduduki Keraton,
dirampas semua oleh Belanda. Kemudian, oleh Sevenhoven hasil pemburuan,
perampokan dan pembeslahan harta kekayaan sultan termasuk 55 naskah berbahasa
Arab, Melayu dan Jawa tersebut dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri di Batavia
pada tanggal 13 Juni 1822.[26]
Masih
untung dari sekian banyak koleksi perpustakaan keraton Palembang tersebut, sampai
kini masih dapat ditemukan di berbagai perpustakaan dan museum terkenal di
beberapa negara,
seperti Inggris, Belanda, Perancis, Rusia, dan Indonesia. Jumlah koleksi yang
masih dapat ditemukan antara lain berjumlah 100 judul dan tersimpan di berbagai
perpustakaan dan museum di Negara-negara tersebut.[27]
Seratus
judul tersebut meliputi buku-buku mengenai agama Islam dan sastra Melayu dan Jawa. Khusus buku
yang mengenai agama Islam
berjumlah 43 judul. Dari 43 judul itu yang terbanyak membahas masalah Tauhid,
Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Akhlaq sebanyak 33 buah, sedangkan 7 judul
membicarakan Qur’an dan Hadis, sisanya 3 judul membahas Fikih. Naskah kedua
berupa sastra Melayu dan Jawa. Naskah
dalam bahasa Jawa mengenai cerita yang berkaitan dengan wayang yang digemari
masyarakat Jawa ditemukan sebanyak 13 naskah. Di kalangan keraton misalnya,
para pembesar Palembang diwajibkan menggunakan bahasa Jawa Krama, terutama
kalau mereka menghadapi sang raja. Juga dalam pergaulan diplomatik orang Palembang lebih
menyukai memakai bahasa resmi keraton ini, seperti terbukti dari banyaknya
piagam yang diserahkan Keraton Palembang kepada para kepala adat di pedalaman.[28] Ini menunjukkan bahwa budaya
Jawa di Keraton Palembang masih berpengaruh, sebagaimana juga bahasa Keraton
yang mirip bahasa Jawa “Kromo Inggil”. Naskah lainnya adalah naskah sastra Melayu
yang berupa hikayat, syair, pantun dan silsilah.[29]
Naskah
Melayu yang berisi sastra agama, berisi masalah dan tuntutan beragama serta
membangkitkan semangat beragama. Salah
satu syair yang terkenal adalah syair Perang Menteng atau disebut juga syair
Perang Palembang. Syair
ini menceritakan perang antara pihak Belanda yang dipimpin oleh Mutinghe (disebut secara salah orang Palembnag dengan “Menteng”) dengan pihak Kesultanan
Palembang pada tahun 1819. Isi
syair ini juga menggambarkan perang jihad melawan Belanda. Kehadiran pemerintahan
kolonial Belanda tampaknya telah menimbulkan terhapusnya Kesultanan Palembang
yang sekaligus menghancurkan pusat studi Islam dan Sastra di dunia Melayu.[30] Selain itu, ketika Belanda melakukan
pembongkaran terhadap keraton, semua kebudayaan
keraton lenyap. Korban
pertama dari perkembangan ini ialah pengetahuan bahasa dan sastra Jawa di
kalangan priyayi.
Sesudah keraton jatuh tidak ada alasan lagi untuk memakai bahasa Jawa sebagai
etiket dan seremoni, dan dengan pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin,
menghilang pula pelindung utama sastra Jawa.[31]
C.
Penutup
Ketergantungan
kegiatan intelektual keagamaan yang sangat tinggi terhadap keraton menjadikan perkembangan
kajian keagamaan dan sastra terikat pada kehidupan politik keraton itu
sendiri.Akibatnya, ketika keraton Palembang direbut oleh pemerintah Hindia
Belanda, maka hal ini sangat berpengaruh pada mandeg-nya kegiatan intelektual
itu sendiri.Kondisi hal ini berbeda dengan yang terjadi di Jawa, di mana
kegiatan intelektual tidak hanya berpusat pada di keraton tetapi juga di
pusat-pusat pendidikan tradisional Islam juga berada di masyarakat.Karena itu,
meskipun keraton-keraton di Jawa diduduki oleh pemerintah Hindia Belanda,
kegiatan intelektual itu tetap berlangsung.Wallahu
a’lam bi al-shawab
REFERENSI
Dedi Irwanto. Venesia
dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari
Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak, 2011.
Djohan Hanafiah. Sejarah
Keraton-Keraton Palembang Kuto Gawang. Palembang:PRATAMA, 2005.
http://www.yadim.com.ma/ulama. Diakses
pada 22 Desember 2012. Pukul: 10:53 Wib.
Husni Rahim. Sistem
Otoritas dan Administrasi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Jeroen Peeters. Kaum
Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religious di Palembang1821-1942, terj. Soetan
Maimoen. Jakarta: INIS, 1997.
M. Chatib Quzwain.
“Syeikh ’Abd al-Samad al-Palimbani: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam
di Palembang dalam Abad Ke-18”, dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Suwasosno
(ed.). Masuk dan Berkembangnya Islam di
Sumatera Selatan.Jakarta: UI-Press, 1986.
Van Sevenhoven, J.L. Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja.
Jakarta: Bhratara, 1971.
Zulkifli, Ulama
Sumatera Selatan:Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah.Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1999.
*) Makalah
pendamping, disampaikan dalam Seminar Nasional “Sumatera Selatan dalam Lintas
Sejarah: dari Sriwijaya Menuju Sumsel Jaya” di Palembang pada Sabtu, 04 Mei
2013.
[1]Lihat Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan Peranannya dalam
Lintasan Sejarah (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1999).
[2]Djohan Hanafiah, Sejarah Keraton-keraton Palembang Kuto Gawang (Palembang: Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota
Palembang, 2005),
hal. 1.
[3]J.L. Van
Sevenhoven, Lukisan tentang Ibukota
Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1971), hal. 12.
[4]Dedi Irwanto, Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan
Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial (Yogyakarta:
Ombak, 2011), hal. 23.
[5]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1998), hal.
91.
[13]M. Chatib
Quzwain, “Syeikh ’Abd
al-Samad al-Palimbani: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam di Palembang
dalam Abad Ke-18”, dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Suwasosno (ed.),Masuk dan Berkembangnya
Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: UI-Press, 1986).
[23]Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang1821-1942 (Jakarta:
INIS,1997), hal. 5.