Senin, 20 Mei 2013


KERATON KESULTANAN PALEMBANG
SEBAGAI PUSAT STUDI ISLAM DAN SASTRA*)

Oleh:
Maryani Sujiyati
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
IAIN Raden Fatah Palembang

A.   Pendahuluan
Kota Palembang pada masa kesultanan terkenal sebagai pusat intelektual Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Beberapa di antaranya dapat disebutkan nama-nama Syaikh Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin, Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad (1811-1874 M), Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (1811-1901 M); dan ulama yang paling terkenal di Palembang adalah ‘Abd al-Shamad al-Palimbani.[1] Ulama-ulama ini mempunyai otoritas cabang keilmuan agama Islam yang beragam. Mereka ada yang ahli dalam bidang ilmu falaq, ilmu syari’ah, dan ilmu tasawuf. Pemikiran-pemikiran mereka berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Islam di Sumatera Selatan pada umumnya hingga sekarang ini.
Namun, kondisi dan situasi tersebut berubah ketika Keraton Palembang diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 1820-an. Pada masa ini Belanda tidak memberi perhatian pada pengembangan keilmuan agama. Meskipun pada masa ini masih muncul beberapa ulama, tetapi mereka muncul dari kalangan rakyat kebanyakan. Mereka tidak mendapat lagi tunjangan biaya pendidikan selama dalam proses rihlah ilmiah. Pada masa ini juga muncul kelompok ulama penghulu. Namun, kelompok ulama ini lebih disibukkan oleh urusan-urusan birokrasi keagamaan daripada pengembangan keilmuan Islam. Mereka mengurusi masalah-masalah pernikahan, perceraian, pembagian warisan, dan menasihati Residen Palembang dalam urusan-urusan kegamaan. Karena itu, kelompok ulama ini pun mendapat gaji dari pemerintahan Hindia Belanda.
Tulisan singkat ini akan menganalisis peran Keraton Palembang dalam pengembangan keilmuan agama Islam dan sastra. Kebijakan apa saja yang dilakukan oleh pihak keraton dalam mendukung perkembangan keilmuan itu sendiri. Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah: bagaimana peranan Keraton dalam mendorong perkembangan intelektual. Tujuannya adalah untuk mengetahui tentang peranan Keraton dalam mengembangkan kajian keislaman dan sastra. Untuk tujuan ini, pendekatan sejarah sosial intelektual perlu digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas.

B.   Pembahasan
Kota Palembang adalah sebuah kota tua di Nusantara. Kota ini mempunyai sejarah panjang dalam khazanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan, bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat (Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosakata lembang berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air, menetes atau kumparan air. Dalam bahasa Melayu lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah.[2] Sementara itu, menurut Sevenhoven Lembang adalah berasal dari kata Jawa yang berarti membersikan biji atau logam dari tanah atau benda-benda lainnya. Pa adalah suatu kata depan yang digunakan oleh orang-orang Jawa dan Melayu, jika mereka hendak menyebut suatu tempat.[3]Jadi, dalam pengertian ini Palembang adalah tempat pendulangan  emas dan biji timah, karena menurut cerita Palembang merupakan tempat penghasil emas dan timah sejak dahulu.
Nama Palembang meliputi seluruh daerah kerajaan, yang pernah dikuasai oleh Sultan Mahmud Badaruddin, pemerintahan Hindia Belanda Sultan Husin Aliuddin dan yang di daerahnya diperintah langsung oleh Sultan Ahmad Najamuddin. Palembang pada masa kesultanan secara alami adalah kota yang indah. Ekologi yang terbentuk dari anak-anak Sungai Musi yang masuk ke pusat kota merupakan deskripsi menarik dari keindahan tersebut. Sebagai kota kesultanan yang secara budaya mewarisi tradisi keraton Jawa, keraton menempatkan diri menjadi pusat kekuasaan.[4]
Istana merupakan pusat berkumpulnya para ulama dan penyair Islam di Kerajaan Melayu. Tradisi ini tampak pula di Kesultanan Aceh dengan para ulama istana yang terkenal seperti Nurruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf Singkel, Syamsuddin al-Samatrani, Hamzah Fansuri. Keadaan serupa ditemukan pula di berbagai kesultanan Melayu lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa hubungan yang erat antara keraton dengan para ulama dan penyair Islam telah terjalin lama. Oleh karena itu, tidak heran bila keraton-keraton Melayu dikenal pula sebagai Pusat Studi Islam dan Sastra Islam.[5]
Di dalam tradisi keraton Melayu, menulis telah menjadi suatu pekerjaan keraton yang terhormat. Di kalangan istana-istana tradisional Melayu penulisan kronik dan puisi mungkin diperintahkan bahkan mungkin di bawah pengawasan raja, pangeran atau bangsawan yang berkuasa, tetapi isi karangan tetap dipercayakan pada seorang pengarang. Hanya sesekali saja raja, anak raja dan keluarga raja terlibat langsung dalam aktivitas penulisan.[6]
Keraton sebagai Pusat Sastra dan Ilmu Agama Islam, telah tumbuh seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara. Munculnya aktivitas ini karena Sultan memberikan perhatian dan dorongan. Meskipun demikian, tidak setiap sultan bertindak serupa, sehingga terjadi pasang surut dan pasang naik dalam perkembangan pendidikan Islam dan Sastra karena terpusat pada keraton. Setelah kemunduran Aceh, Palembang muncul sebagai pusat studi Islam dan Sastra selama periode 1750-1820. Kebiasaan memelihara “Ulama Keraton” telah dirintis sejak zaman Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757). Pada masa inilah munculnya penulis Palembang, yaitu Syekh Syihabbuddin bin Abdullah Muhammad yang telah menerjemahkan dan memberikan syarah kitab Jawharat al-Tawhid karangan Ibrahim al-Laqani ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1750. Syekh Syihabbuddin tinggal di Mekkah dan karyanya tersebar di Mekkah.[7]
Pada masa Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesuma atau yang disebut juga Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) muncul pula penulis Palembang, yaitu Kemas Fakhruddin yang mengarang Kitab Muktashar. Kitab ini merupakan terjemahan dari Risalah fi al-Tawhid karangan Syekh Raslan al-Dimasyqi yang diperluas dengan komentar dari syarah Zakariyya al-Anshari. Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1804) ketika masih menjadi pangeran Ratu telah menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap Ilmu Agama dan dimasanya muncul pengarang Palembang yang sangat terkenal, yaitu Abd Shamad al-Palimbani. Al-Palimbani merupakan tokoh kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektual Islam Nusantara. Beliau dilahirkan pada 1116 H / 1704 M di Palembang.[8]
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Dalam kitab ini, ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam, seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah mulhid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.[9]
Selain penulis-penulis Palembang di atas, Drewes masih menambahkan sembilan pengarang Palembang, yaitu: Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, Kemas Muhammad bin Ahmad, Sultan Muhmud Badaruddin II, Muhammad Makruf bin Abdullah Khatib Palembang, Ahmad bin Abdullah, Kyai Rangga Setyanandita Ahmad, Pangeran Tumenggung Karta Menggala, Demang Muhiddin dan Van Ronkel masih menambahkan satu orang lagi, yaitu Kemas Hasanuddin.[10] Kalau dikelompokkan, maka penulis-penulis Palembang tersebut dapat dibagi atas penulis kitab-kitab agama, penulis sastra dan penulis sejarah.

Penulis kitab agama adalah:
1.    Syekh Syihabuddin bin Abdullah Muhammad yang menerjemahkan dan memberikan syarah kitab Jawharat al-Tawhid karangan Ibrahim al-Laqani ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1750. Selain itu masih ada kitab Risala dan kitab ‘Aqidat al-Bayan. Ketiga kitab ini membahas masalah tauhid, ilmu kalam dan tasawuf. Pada akhir kitab Risala tertulis kalimat “ Tammat al-risla ta’lif tuan Syekh Syihabuddin Jawi, rahmat Allah ‘alaihi Intaha.” Kalimat ini menunjukkan bahwa penulisnya berada di Mekkah, sebagaimana kebiasaan banyak ulama asal Indonesia yang menyebutkan daerah asalnya di belakang namanya.[11]
2.    Kemas Fakhruddin yang mengarang Kitab Mukhtashar yang merupakan terjemahan dari Risala fi al-Tawhid karangan Syekh Raslan al-Dimasyqi yang diperluas dengan komentar dari syarah Zakariyya al-Anshari. Tulisan lainnya adalahFutuh al-Sha’am karangan Waqidi. Selanjutnya terjemahan Melayu kitab Tuhfat al-Zaman fi Zharfahl al-Yaman, karangan Ibn Shaddad al-Himyari dan kitab Khawash al-Qur’an al-Azhim. Beberapa kitab tersebut ditulis atas permintaan Pangeran Ratu, yang kemudian menjadi Sultan Muhammad Bahauddin.[12] Kemas Fakhruddin mengembangkan ajaran tasawuf yang dikatakan berasal dari al-Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H/ 908 M), seorang tokoh sufi abad ketiga Hijriyah yang mengajarkan tasawuf yang memandang keadaan sadar lebih utama daripada ekstasi, dan tetap membedakan antara Tuhan dan hamba-Nya, di samping tetap mematuhi ketentuan-ketentuan syariat.[13]
3.    Abdus Shamad al-Palimbani menulis delapan buah kitab: Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tawhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas permintaan pelajar Indonesia yang belum menguasai bahasa Arab. Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayat al-Hidayah karya Al-Ghazali. Namun, di samping menerjemahkannya, al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam. Sair al-Salikin ila Ibadat Rabb al-‘Alamin, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin,Nashihat al-Muslimin wa Tazkirat al-Mu’minin fi Fada’il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabil Allah, Al-‘Urwat al-Wasqa wa-Silsilat Uli al-Ittiqa, Kitab Ratib Abd Shamad al-Palimbani, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya, dan yang terakhir, yaitu Zad al-Muttaqin fi Tawhid Rabb al-‘Alamin,berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.[14]
4.    Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, menulis buku Hikayat Karamat Shaikh Muhammad Samman dengan Ikhtisar.[15]
5.    Kemas Muhammad bin Ahmad, menulis dua kitab yaitu Nafahat al-Rahman fi Manaqib Ustazina al-Azham al-Samman dan kitab Bahr al-Aja’ib.[16]
6.    Muhammad Makruf bin Abdallah khatib Palembang, menulis kitab Tariqah yang dibangsakan kepada Qadiriyyah dan Naqsabandiyyah.[17]
Tulisan mengenai fikih tidak ditemukan di antara kitab tersebut, walaupun salah seorang di antara pengarang itu adalah Khatib (penghulu). Tulisan dalam bentuk hikayat dan syair tampaknya muncul setelah periode penulisan kitab-kitab tersebut.[18]

Penulisan dalam bidang sastra:
1.    Sultan Mahmud Badaruddin II, menulis Syair Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Syair Nuri dan Pantun. Drewes menduga bahwa kitab-kitab ini ditulis Mahmud Badaruddin II setelah pengasingannya di Ternate.
2.    Pangeran Panembahan Bupati saudara Sultan Mahmud Badaruddin II, menulis Syair Raja Mambang Jawhari, Syair Kembang Air Mawar dan Syair Patut Delapan.
3.    Ahmad bin Abdullah, menulis Hikayat Andaken Penurat.
4.    Kyai Rangga Setyanandita Ahmad, menyalin kitab Hikayat Mareskalek, karya Syekh Abdullah al-Misri yang lahir di Palembang dari keturunan Arab.
5.    Kemas Hasanuddin, menyalin Hikayat Tuan Tilani dari cerita yang ditulis di Jambi.

Penulis dalam bidang Sejarah: 
1.    Pangeran Tumenggung Karta Menggala, menulis Cerita Negeri Palembang, Cerita dari pada Aturan Raja-raja di dalam Negeri Palembang dan Hikayat Mahmud Badaruddin.
2.    Demang Muhyiddin seorang hakim pengadilan Palembang, menulis Silasila Raja-raja di dalam Negeri Palembang.[19]

Sebagai suatu pusat sastra dan ilmu agama, kegiatan kajian agama cukup berkembang dan maju. Apalagi perhatian sultan cukup besar terhadap agama, terbukti dari beberapa kitab yang dinisbahkan pemiliknya kepada Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Ratu Ahmad Najamuddin, Sultan Muhammad Bahauddin, Pangeran Jayakrama, dan Pangeran Arya Muhammad Zainuddin. Kitab-kitab itu tersimpan dalam perpustakaan istana, sehingga pada waktu Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan Inggris, koleksi itu banyak yang dirampas dan dibawa oleh armada kolonel Gillespie dan dibawa ke Inggris (1812). Kemudian, ketika Sultan Mahmud Badaruddin dikalahkan Belanda, maka seluruh koleksi istana dirampas dan dibawa ke Batavia.[20]
Menurut catatan Steenbrink, Keraton Kesultanan Palembang sebagai pusat sastra dan ilmu agama berlainan dengan kebiasaan di Jawa yang menjadikan pesantren sebagai pusatnya. Belum ditemukan hubungan keraton dan Masjid Agung dalam kaitan tersebut. Bisa jadi ada semacam pembagian fokus perhatian atau kajian antara keraton dengan Masjid Agung. Keraton lebih memperhatikan aspek sastra keagamaan dan tasawuf, sedangkan Masjid Agung pada aspek peribadatan dan fikih. Keduanya berjalan dengan sasaran yang berbeda, sehingga tidak terjadi konflik. Apalagi Pangeran Penghulu Nata Agama dan Khatib Imam, serta khatib-khatib yang lain diangkat oleh Sultan.[21]
Keraton sebagai pusat sastra dan ilmu agama tampaknya merupakan ciri perkembangan Islam yang berbeda dengan di Barat dan juga di Timur Tengah. Raja atau Sultan di Barat dan di Timur Tengah tidak menjadikan keraton sebagai pusat ilmu, tetapi membentuk lembaga pendidikan tersendiri untuk membantu pengembangan ilmu agama Islam. Lembaga pendidikan itulah yang didorong oleh Sultan untuk mengembangkan ilmu. Dengan demikian, perkembangan ilmu berkembang terus tanpa selalu tergantung dengan sikap dan perhatian raja terhadap ilmu. Boleh jadi, keraton bukan madrasah atau pesantren yang dijadikan sebagai pusat sastra dan pengembangan ilmu agama Islam di Palembang, maka akibatnya pengembangan sastra dan ilmu agama Islam di daerah Palembang kurang berakar.[22]
Perhatian sultan yang begitu besar terhadap ilmu agama dan sastra tersebut, telah menjadikan keraton sebagai perpustakaan. Perpustakaan istana yang cukup besar itu dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821).[23] Koleksi perpustakaan keraton Palembang diketahui lengkap dan rapi dari laporan Van Sevenhoven ketika mengirimkan kitab dan naskah hasil rampasan ke Batavia yang, antara lain, menyebutkan:[24]
Lima puluh lima tulisan yang bagus sekali, diikat rapi dan dalam keadaan baik yang berisi naskah Melayu dan Arab. Sungguh suatu yang menakjubkan menyaksikan salah satu dari harta milik mantan Sultan Palembang Mahmud Badaruddin.
Koleksi perpustakaan Keraton Palembang yang baik dan lengkap tersebut, dikuras serdadu Inggris di bawah pimpinan Kolonel Gillespie ketika menduduki Keraton Palembang pada tahun 1812, setelah Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan dan menyingkir ke daerah uluan dan hanya sebagian kecil yang sempat diselamatkan. Koleksi yang dirampas oleh serdadu Inggris sebagian kecil saja masih ditemukan di British Libraries London.[25]
Selanjutnya, terjadi lagi perampasan seluruh koleksi perpustakaan keraton Palembang ketika Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan oleh Belanda dan keraton disita serta sultan dibuang ke Ternate (1822). Sisa naskah dan kitab yang sempat diselamatkan ketika Inggris menduduki Keraton, dirampas semua oleh Belanda. Kemudian, oleh Sevenhoven hasil pemburuan, perampokan dan pembeslahan harta kekayaan sultan termasuk 55 naskah berbahasa Arab, Melayu dan Jawa tersebut dikirimkan ke Departemen Dalam Negeri di Batavia pada tanggal 13 Juni 1822.[26]
Masih untung dari sekian banyak koleksi perpustakaan keraton Palembang tersebut, sampai kini masih dapat ditemukan di berbagai perpustakaan dan museum terkenal di beberapa negara, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Rusia, dan Indonesia. Jumlah koleksi yang masih dapat ditemukan antara lain berjumlah 100 judul dan tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum di Negara-negara tersebut.[27]
Seratus judul tersebut meliputi buku-buku mengenai agama Islam dan sastra Melayu dan Jawa. Khusus buku yang mengenai agama Islam berjumlah 43 judul. Dari 43 judul itu yang terbanyak membahas masalah Tauhid, Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Akhlaq sebanyak 33 buah, sedangkan 7 judul membicarakan Qur’an dan Hadis, sisanya 3 judul membahas Fikih. Naskah kedua berupa sastra Melayu dan Jawa. Naskah dalam bahasa Jawa mengenai cerita yang berkaitan dengan wayang yang digemari masyarakat Jawa ditemukan sebanyak 13 naskah. Di kalangan keraton misalnya, para pembesar Palembang diwajibkan menggunakan bahasa Jawa Krama, terutama kalau mereka menghadapi sang raja. Juga dalam pergaulan diplomatik orang Palembang lebih menyukai memakai bahasa resmi keraton ini, seperti terbukti dari banyaknya piagam yang diserahkan Keraton Palembang kepada para kepala adat di pedalaman.[28] Ini menunjukkan bahwa budaya Jawa di Keraton Palembang masih berpengaruh, sebagaimana juga bahasa Keraton yang mirip bahasa Jawa “Kromo Inggil”. Naskah lainnya adalah naskah sastra Melayu yang berupa hikayat, syair, pantun dan silsilah.[29]
Naskah Melayu yang berisi sastra agama, berisi masalah dan tuntutan beragama serta membangkitkan semangat beragama. Salah satu syair yang terkenal adalah syair Perang Menteng atau disebut juga syair Perang Palembang. Syair ini menceritakan perang antara pihak Belanda yang dipimpin oleh Mutinghe (disebut secara salah orang Palembnag dengan “Menteng) dengan pihak Kesultanan Palembang pada tahun 1819. Isi syair ini juga menggambarkan perang jihad melawan Belanda. Kehadiran pemerintahan kolonial Belanda tampaknya telah menimbulkan terhapusnya Kesultanan Palembang yang sekaligus menghancurkan pusat studi Islam dan Sastra di dunia Melayu.[30] Selain itu, ketika Belanda melakukan pembongkaran terhadap keraton, semua kebudayaan keraton lenyap. Korban pertama dari perkembangan ini ialah pengetahuan bahasa dan sastra Jawa di kalangan priyayi. Sesudah keraton jatuh tidak ada alasan lagi untuk memakai bahasa Jawa sebagai etiket dan seremoni, dan dengan pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin, menghilang pula pelindung utama sastra Jawa.[31]

C.     Penutup
Ketergantungan kegiatan intelektual keagamaan yang sangat tinggi terhadap keraton menjadikan perkembangan kajian keagamaan dan sastra terikat pada kehidupan politik keraton itu sendiri.Akibatnya, ketika keraton Palembang direbut oleh pemerintah Hindia Belanda, maka hal ini sangat berpengaruh pada mandeg-nya kegiatan intelektual itu sendiri.Kondisi hal ini berbeda dengan yang terjadi di Jawa, di mana kegiatan intelektual tidak hanya berpusat pada di keraton tetapi juga di pusat-pusat pendidikan tradisional Islam juga berada di masyarakat.Karena itu, meskipun keraton-keraton di Jawa diduduki oleh pemerintah Hindia Belanda, kegiatan intelektual itu tetap berlangsung.Wallahu a’lam bi al-shawab



REFERENSI

Dedi Irwanto. Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak, 2011.

Djohan Hanafiah. Sejarah Keraton-Keraton Palembang Kuto Gawang. Palembang:PRATAMA, 2005.

http://www.yadim.com.ma/ulama. Diakses pada 22 Desember 2012. Pukul: 10:53 Wib.

Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Jeroen Peeters. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religious di Palembang1821-1942, terj. Soetan Maimoen. Jakarta: INIS, 1997.

M. Chatib Quzwain.Syeikh ’Abd al-Samad al-Palimbani: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam di Palembang dalam Abad Ke-18”, dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Suwasosno (ed.). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan.Jakarta: UI-Press, 1986.

Van Sevenhoven, J.L. Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1971.

Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan:Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah.Palembang: Universitas Sriwijaya, 1999.



 *) Makalah pendamping, disampaikan dalam Seminar Nasional “Sumatera Selatan dalam Lintas Sejarah: dari Sriwijaya Menuju Sumsel Jaya” di Palembang pada Sabtu, 04 Mei 2013.
[1]Lihat Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1999).
[2]Djohan Hanafiah, Sejarah Keraton-keraton Palembang Kuto Gawang (Palembang: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Palembang, 2005), hal. 1.
[3]J.L. Van Sevenhoven, Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1971), hal. 12.
[4]Dedi Irwanto, Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial (Yogyakarta: Ombak, 2011),  hal. 23.
[5]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1998),  hal. 91.
[6]Ibid., hal. 92.
[7]Ibid.
[8]Ibid., hal. 93.
[9]http://www.yadim.com.my/ulama, diakses pada  22 Desember 2012, pukul: 10:53 Wib.
[10]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, hal. 93.
[11]Ibid.
[12]Ibid., hal. 94.
[13]M. Chatib Quzwain,Syeikh ’Abd al-Samad al-Palimbani: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Islam di Palembang dalam Abad Ke-18”, dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Suwasosno (ed.),Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: UI-Press, 1986).

[14]http://www.yadim.com.my/ulama, diakses pada 22 Desember 2012, pukul: 10:53 Wib.
[15]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, hal. 94.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Ibid., hal. 95.
[19]Ibid.
[20]Ibid.,hal. 96.
[21]Ibid.
[22]Ibid., hal. 97.
[23]Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang1821-1942 (Jakarta: INIS,1997), hal. 5.
[24]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, hal. 97.
[25]Ibid.
[26]Ibid., hal. 98.
[27]Ibid.
[28]Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo, hal.10.
[29]Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, hal. 99.
[30]Ibid.
[31]Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo, hal. 12.