KRITIK SUMBER SEJARAH:
Eksternal dan Internal
Oleh:
Maryani Sujiyati
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang
A.
Pendahuluan
Metode penelitian sejarah lazim juga disebut
metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis,[1] sedangkan penelitian
adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi, metode penelitian adalah cara-cara
yang digunakan untuk mengumpulkan data.[2] Metodologi berbeda dengan
metode, meskipun jelas bertalian erat. Bila metodologi adalah bidang teori yang
membahas to know how to know
(mengetahui bagaimana seharusnya mengetahui) tentang metode-metode yang ada,
sedangkan metode itu sendiri ialah teknik-teknik atau cara bagaimana melakukan
penelitian dalam berbagai bidang disiplin atau kajian tertentu.[3] Metode ada hubungannya
dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistemetis dalam penyelidikan
suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang
diteliti.
Dengan demikian, metode erat
hubungannya dengan metodologi.[4] Jika dihubungkan kepada
sejarah, maka metode sejarah itu adalah seperangkat azas dan kaidah-kaidah yang
sistematis yang diharuskan untuk membantu secara efektif memilih subjek kajian
dan menentukan informasi mengenainya, menilainya secara kritis minimal pada dua
hal, yaitu: masalah otentitas (kritik ekstern) dan masalah kreadibilitas
(kritik intern), serta menyajikan suatu sintesis hasil yang dicapai, pada
umumnya dalam bentuk tertulis.[5]
Menurut Hugiono dan
Poerwantana, istilah metode dalam arti metode sejarah hendaknya diartikan yang
lebih luas, tidak hanya pelajaran mengenai analisa kritik saja, melainkan juga
meliputi usaha sintesis daripada data yang ada sehingga menjadi penyajian dan
kisah sejarah yang dapat dipercaya. Metode sejarah adalah proses untuk mengkaji
dan menguji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dan
menganalisis secara kritis.[6] Jadi, menurut penulis, metode
sejarah adalah sebuah proses atau teknik untuk mengkaji kebenaran di dalam
dokumen atau peninggalan masa lalu, dengan mengkritisinya agar menemukan sebuah
data yang otentik dan dapat dipercaya. Metode sejarah itu sangat penting dalam
melakukan sebuah pengkajian untuk mencari sebuah kebenaran.
Ketika mencari kebenaran,
sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang
tidak benar, apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Untuk dapat
memutuskan ini semua sejarawan harus mengerahkan segala kemampuan pikirannya,
bahkan seringkali ia harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu,
percaya begitu saja, dan menggunakan akal sehat. Inilah fungsi kritik sehingga
karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan, bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau
fabrikasi sejarawan.[7]
Kritik sumber umumnya
dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi
sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber itu.
Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik
internal.[8] Yang
menjadi latar belakang masalah dengan adanya kritik sumber adalah manusia tidak
luput dari kesalahan, baik itu kesalahan yang disengaja maupun kesalahan yang
tidak disengaja sebagaimana dijelaskan Sjamsuddin bahwa:
“…dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia selain telah banyak
berbuat yang benar tidak jarang pula membuat kesalahan-kesalahan (disengaja
ataupun tidak disengaja), bahkan ada pula yang tidak segan-segan melakukan
pemalsuan atau kejahatan lainnya.”[9]
Selain itu, Sjamsuddin juga
memberikan contoh kasus yang ada di media cetak, seperti dalam surat-surat
pembaca dalam surat kabar atau majalah, misalnya, sering kali ditemui pembaca-pembaca
kritis yang mencoba membantah atau meluruskan asal dan/isi berita atau artikel
yang dimuat sebelumnya. Acap kali kritikan-kritikan ini mendapat respon dari penulis
atau surat kabar atau majalah yang bersangkutan, sehingga tulisan tersebut
diralat.[10]
Ternyata, dalam
kasus berita dalam surat kabar atau majalah di atas, sumber berita juga
memerlukan kritik sumber. Demikian juga dalam memperoleh sumber sejarah juga
diperlukan kritik sumber sebagai bagian dalam metodologi sejarah, lantas
bagaimanakah kritik sumber itu dapat dilakukan, sehingga keontetikan atau
keaslian dari sumber sejarah itu dapat dipertanggungjawabkan.
Makalah
ini berusaha memaparkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kritik sumber
sebagai bagian dari metode penelitian sejarah. Namun, pembahasan makalah ini
hanya difokuskan pada segi-segi yang berkaitan dengan sumber kritik yaitu,
kritik ekstern dan ktirik intern. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mandiri yang telah diberikan oleh dosen pembimbing.
B.
Kritik
Sumber
Setelah sumber sejarah dalam berbagai
kategorinya itu terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi atau lazim
disebut juga dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Menurut
Kuntowijoyo, kritik sumber atau verifikasi adalah langkah ketiga yang dilakukan
oleh seorang sejarawan.[11] Langkah ini dilakukan untuk
menyaring sumber-sumber yang telah dikumpulkan secara kritis agar terjaring
fakta yang menjadi pilihan, baik terhadap bahan materi sumber maupun terhadap
substansi sumber. Dalam hal ini, dilakukan uji keabsahan tentang keaslian
sumber (autentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan
tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern.[12] Pada umumnya, kritik
sumber dilakukan terhadap sumber pertama (primary
sources), yakni mengangkut verifikasi. Kritik sejarah dibedakan atas dua
macam, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.[13]
Kritik Eksternal. Secara teknis kritik
eksternal telah dikembangkan sejak Renaissance. Ini merupakan manifestasi serta
salah satu ciri berpikir modern, karena di dalamnya terkandung esensi berfikir
kritis.[14] Sebagaimana yang
disarankan oleh istilahnya, kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi
atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Sebelum semua
kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk
merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang
ketat. Jadi, serupa dengan evidensi yang diajukan dalam suatu pengadilan. Atas
dasar berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu
otentik dan integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang
yang dapat dipercaya. Kesaksian itu harus dapat dipahami dengan jelas. Sebelum
sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah
lima pertanyaan harus dijawab dengan memuaskan, yaitu: [1] siapa yang
mengatakan itu [2] apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah
diubah?; [3] apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya
itu; [4] apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang
kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu; dan [5] apakah saksi itu mengatakan
yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu?[15]
Adalah fungsi dari kritik
eksternal memeriksa sumber sejarah atas dasar dua butir pertama dan menegakkan
sedapat mungkin otentitas dan integritas dari sumber itu. Adapun yang dimaksud
dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber,
suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan
semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu
sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau
tidak. Kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian, bahwa: [a] kesaksian
itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini (authenticity); dan [b] kesaksian yang
telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau
penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity).[16]
[a]
Autentisitas. Sebuah sumber sejarah adalah otentik atau
asli jika itu benar-benar adalah produk dari orang yang dianggap sebagai
pemiliknya atau jika yang dimaksud oleh pengarangnya. Sebenarnya kata asli (genuine) dan otentik (authentic) tidak selalu sinonim. Sumber
asli artinya sumber yang tidak palsu, sedangkan sumber otentik ialah sumber
yang melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang tampaknya benar.[17]
Mengidentifikasi penulis
adalah langkah pertama dalam menegakkan otentisitas. Otentisitas adalah lebih
dari pada pemberian suatu nama atau suatu sumber sejarah. Diperlukan informasi
yang lengkap: tanggal dari penulisan, tempat dari penulisan, orisinilitas dari
penulisan. Semakin banyak diketahui tentang asal-usul dari suatu catatan atau
peninggalan, menjadi semakin mudah untuk menegakkan kredibilitas dari catatan
atau peninggalan itu.[18] Kita umpamakan saja, kita
temukan sebuah surat, notulen rapat dan daftar langganan majalah Sarotomo. Kertasnya sudah menguning,
baik surat, notulen atau daftar. Baru menemukan dokumen saja sudah suatu
prestasi, rasanya tidak sampai hati untuk tidak mempercayainya. Untuk
membuktikan keaslian sumber, rasanya terlalu mengada-ada, sebab untuk apa orang
memalsukan dokumen yang tidak berharga itu? Surat, notulen dan daftar itulah
ynag harus kita teliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, kalimatnya,
ungkapannya, kata-katanya, hurufnya dan semua penampilan luarnya untuk
mengetahui otentisitasnya.[19]
1. Deteksi
Sumber Palsu
Para sejarawan setiap generasi selalu
dibanyangi kemungkinan berhubungan dengan sumber-sumber palsu. Kecanggihan
teknologi modern memudahkan para pemalsu melakukan operasinya. Sebenarnya
sumber-sumber palsu ini tidak terbatas pada catatan-catatan saja,
peninggalan-peninggalan juga dapat dipalsukan. Ujian-ujian terhadap
sumber-sumber ini adalah aplikasi kritik eksternal dan internal dan terbagi
menjadi empat kategori, yaitu:[20]
v Kriteria fisik,
kadang-kadang dokumen gagal tes pertama, yaitu kriteria fisik. Misalnya, jika
kertas dibuktikan oleh ujian kimia dari suatu periode yang berbeda dari periode
yang diklaim oleh dokumen itu, atau tinta atau cat tidak dikenal dari periode
yang dikatakan zaman dari periode itu.
v Garis asal-usul dari dokumen atau sumber,
jika tidak jelas maka perlu diragukan karena sampai kepada kita melalui suatu
garis pemilik-pemilik yang tidak dikenal.
v Tulisan tangan, tulisan
tangan dapat membuktikan kepalsuan dari suatu dokumen.
v Isi dari sumber,
dari isi suatu dokumen atau sumber dapat ditemukan, misalnya,
kesalahan-kesalahan yang dianggap penulis sebenarnya tidak melakukannya.
Demikianlah, ujian untuk
otentisitas sumber merupakan keharusan sehingga sebuah dokumen palsu hampir
tidak dapat lolos ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimanapun pandainya
pemalsuan, adalah sulit untuknya melepaskan diri dari deteksi ini. Ujian secara
terus-menerus oleh pengkritk-pengkritik, adalah jaminan bahwa sumber-sumber
sejarah palsu tidak akan mendapat jalan masuk ke dalam perpustakaan dan arsip
negara kita.[21]
2. Integritas
Selanjutnya, sejarawan tidak cukup puas
dengan pengetahuan bahwa sebuah sumber adalah otentik atau asli saja. Ia ingin
mengetahui apakah sumber itu tetap terpelihara otentisitasnya selama transmisi
dari saksi mata aslinya sampai kepadanya. Integritas adalah satu aspek dari
otentisitas dan adalah suatu aspek yang sangat penting. Suatu sumber mempunyai
otentisitas yang tetap jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa korupsi
atau ubahan-ubahan meskipun ditransmisikan dari masa ke masa. Jika ini semua
benar-benar diketahui, maka dapat dikatakan bahwa fakta dari kesaksian telah
ditegakkan bagi sejarawan.[22]
3. Penyuntingan
Dokumen-dokumen yang disunting secara
sembarangan dan tidak kompeten dapat merusak banyak sumber sejarah. Aturan-aturan
mengedit sebenarnya sederhana meskipun cukup ketat. Aturan-aturan menyunting
merupakan pelajaran yang praktis yang amat penting bagi para mahasiswa ilmu
sejarah. Dalam membuat tugas makalah berkala (Term Papers), misalnya,
mereka dituntut menggunakan kutipan-kutipan yang tepat adalah suatu tugas
penyuntingan (editorial) mereka dalam ukuran kecil. Oleh karena itu, wajib bagi
para mahasiswa mengetahui aturan itu dalam penyusunan dan penulisan makalah
mereka, misalnya:[23]
v Kutipan
harus benar, persis seperti yang ditulis oleh penulis yang dikutip. Kutipan
kata demi kata disebut verbatim.
v Kutipan
tidak boleh dikeluarkan dari konteksnya sehingga apa yang dimaksud oleh penulis
tidak mengalami distorsi.
v Pembaca
harus diberitahu perubahan, tambahan atau penghilangan dalam kutipan yang
dibuat oleh penulis.
Kritik
Internal. Seperti halnya kritik
eksternal secara teknis kritik internal dikembangkan pula sejak Renaissance.[24] Kebalikan dari kritik eksternal,
kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek dalam, yaitu: isi dari sumber
kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian (fact testimony)
ditegakkan melalui kritik eksternal tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi
terhadap kesaksian tersebut. Keputusan ini didasarkan atas dua penyelidikan
(inkuiri), yaitu sebagai berikut.[25]
Pertama, arti sebenarnya
dari kesaksian itu harus dipahami. Apakah sebenarnya yang ingin dikatakan
penulis? Adalah mustahil untuk mengevaluasi sesuatu kesaksian kecuali orang
tahu jelas apa yang telah dikatakan. Sesuatu yang telah dikatakan tidak selalu
jelas sehingga tidak mudah untuk memahami apa sebenarnya maksudnya. Kedua, setelah
fakta dan kesaksian itu dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya
telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan.
Saksi atau penulis harus jelas menunjukkan kompetensi (copentence) dan verasitas (veracity,
kebenaran). Seorang peneliti harus dapat yakin akan nilai moral dan kejujuran
dari saksi dan bahwa ia sedang mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian yang
dia amati saat itu dalam artian tidak menipu sejarawan. Jadi, adalah tugas
kritik internal untuk menegakan fakta-fakta ini.
Di samping itu, sejarawan
harus menetapkan arti sebenarnya (real
sense) dari kesaksian itu: apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh saksi
atau penulis. Dalam menentukan arti sebenarnya dalam kesaksian dapat
menimbulkan suatu masalah yang serius, yaitu dalam kata tersebut mempunyai dua
pengertian: arti harfiah dan arti sesungguhnya.[26]
Arti harfiah adalah pengertian gramatikal dari kata; literal yang
berarti menurut huruf. Kata membersihkan jalan dan sampah biasa, misalnya,
merupakan arti harfiah jika masing-masing berdiri sendiri. Sementara itu, arti
sesungguhnya (real), kata literal
disini ditinggalkan dan digantikan dalam suatu pengertian kiasan atau metafora.
Pengertian real dari suatu kata adalah arti yang dilekatkan oleh penulis atau
saksi. Dalam hal ini seorang sejarawan harus memiliki pemahaman retorika dan
hermeneutis untuk mengetahui bahasa dalam mana sumber atau dokumen ditulis,
sedangkan dalam mengevaluasi kesaksian seorang sejarawan dapat mengajukan
sejumlah pertanyaan dalam menuntunnya terhadap suatu dokumen. Misalnya, apa
tujuan penulis dalam menulis atau memberikan kesaksian ini? Apa kedudukan
penulis dalam hidup, bagaimana sifatnya, pandangan atau kecenderungan
politiknya, pendidikannya? Apakah ia ahli dalam suatu bidang tertentu? Apa alasan
dari tulisannya itu? Apa dia berpidato dalam suatu pertemuan politik atau
keagamaan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan dapat membantu
menjelaskan apa yang ingin dikatakan penulis.[27]
1. Kredibilitas
Kesaksian
Kredibilitas (dapat dipercaya) tidak harus
ditolak secara a priori kecuali saksi
secara keseluruhan telah dinyatakan tidak dapat dipercayai. Jadi, kredibilitas
kesaksian berasal dari kopetensi dan kebenaran saksi. Menurut Lucey bahwa:
Harus
diketahui bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati, bagaimana kesempatannya
untuk mengamati teruji benar atau tepat, bagaimana jaminan kejujurannya,
bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan dengan saksi-saksi dengan
memperhitungkan kemungkinan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh saksi lain.[28]
Dalam hal ini seorang
sejarawan harus berhati-hati terhadap kelemahan-kelemahan dari suatu ingatan
yang salah dan prasangka, karena hal ini akan memunculkan keberpihakan dari
hasil pencatatan peristiwa atau kejadian itu. Selain itu, sejarawan juga
menghendaki saksi-saksi kontemporer artinya dekat dengan kejadian yang
dilaporkannya, dapat dijelaskan seperti anak dari saksi yang sebenarnya yang
diwariskan dari generasi berikutnya. Kemudian, seorang sejarawan menghendaki pula
saksi-saksi yang kompeten, kejujuran, pertimbangannya yang masuk akal dan tidak
memihak dapat dijamin, sehingga seorang sejarawan sedapat mungkin mengumpulkan
banyak saksi-saksi untuk membandingkan satu sama lain. Dengan demikian,
kesalahan-kesalahan dari seorang saksi dapat dihilangkan. Sementara itu, masih
menurut Lucey, untuk membandingkan suatu sumber dengan sumber-sumber lain untuk
kredibilitas, dibagi kedalam tiga kemungkinan di antaranya:[29]
a. Sumber-sumber
lain dapat cocok dengan sumber A, sumber yang dibandingkan (concurring sources).
b. Sumber-sumber
lain berbeda dengan sumber A (disseting
sources).
c. Sumber-sumber
lain itu diam saja, artinya tidak menyebutkan apa-apa (silent sources).
Di dalam sumber-sumber yang sesuai (concurring sources), kredibilitas
sumber (sumber A) tidak lagi ditegakkan apabila sumber-sumber lain yang sesuai
dengan kesaksiannya telah ditemukan. Apakah sumber-sumber yang sesuai ini
independen (berdiri sendiri)? Jika tidak, maka ada alasan kuat untuk
meragukannya, bahwa ada kemungkinan penyalinan sehingga terjadi ketergantungan (dependence)
kepada satu sumber asli. Titik berat pembuktian terletak pada jawaban atas
pertanyaan apakah sumber-sumber yang sesuai ini independen atau dependen. Jadi,
saksi-saksi yang sesuai itu harus independen.[30]
Berbeda
dengan concurring sources (sumber-sumber yang sesuai) di atas, dalam dissenting
sources (sumber-sumber
berbeda) tergantung pada tingkat perbedaan, pada hakikat dari
sumber-sumber yang berbeda itu. Jika terdapat perbedaan pada rincian atau pada
butir-butir atau hal-hal kecil, tetapi semuanya tidak dapat membatalkan begitu
saja kesaksian dari sumber yang dibicarakan. Namun, apabila terdapat kesamaan
antara dua orang yang sebenarnya saling berlawanan, maka perlu dicurigai akan
adanya kerjasama dalam melakukan pemalsuan. Dimana terdapat pertentangan yang
sungguh-sungguh antara sumber-sumber itu mengenai substansial dari kesaksian,
maka kecil kemungkinan untuk menggunakan salah satu sumber sampai kredibilitas
dari satu atau yang lain dapat ditegakan atas dasar alasan yang kuat.
Untuk hal ini seorang
sejarawan tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan bahwa terdapat suatu
kontradiksi yang sunguh-sungguh dan tidak terpecahkan dalam kesaksian-kesaksian
itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Lucey, bahwa kesaksian yang bertentangan dari
pihak-pihak yang berlawanan atau bersaingan adalah umum, dan biasanya kebenaran
akan ditemukan di antara kedua kutub itu. Jadi, jika terdapat sumber-sumber
yang berbeda akan menambah wawasan juga untuk sejarawan dalam menuju kearah
yang paling benar, yaitu diselesaikan dengan cara hati-hati karena pada
akhirnya sumber-sumber yang berbeda ini akan dapat diatasi.[31]
C.
Simpulan
Beberapa
uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Bahwa kritik sumber atau
verifikasi sumber mutlak diperlukan dalam penelitian sejarah. Langkah ini
dilakukan untuk mengetahui keaslian (otentisitas) dan kredibilitas (dapat
dipercaya) sumber. Karena itu, verifikasi sumber meliputi dua aspek: eksternal
dan internal. Kritik eksternal menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber
yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu? Dengan kata lain,
kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Kritik internal menilai kredibilitas
data dalam sumber. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data,
sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas
(sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka
tulisan.
Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan langkah
ketiga, yaitu setelah menentukan tema dan heuristik. Pentingnya mempelajari
kritik sumber adalah untuk mencari kebenaran suatu data agar data tersebut
dapat diterima atau data tersebut benar-benar dapat dipercaya. Karena itu,
seorang peneliti sejarah harus lebih hati-hati dan bersikap kritis terhadap
sumber sejarah. Bagaimanapun, sejarah sebagai ilmu pengetahuan adalah mencari
kebenaran.
Daftar
Pustaka
A.
Daliman.
Metode Penelitian Sejarah.
Jogjakarta: Ombak, 2012.
Dudung Abdurrahman. Metodologi Penelitian Sejarah Islam.
Yogjakarta: Ombak, 2011.
----------. Metodologi Penelitian Sejarah.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Gottschalk,
Louis. Mengerti Sejarah, terj.
Nugroho Notosusanto. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Heddy
Shri Ahimsa Putra. “Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya:
Sebuah Pemetaan”, Makalah, Disampaikan dalam Pelatihan “Metodologi
Penelitian”, yang diselenggarakan oleh CRCS-UGM di Yogyakarta, 12 Februari – 19
Maret 2007.
Helius
Sjamsuddin. Metdologi Sejarah. Jogjakarta:
Ombak, 2012.
Hugiono
dan P.K. Poerwantana. Pengentar Ilmu
Sejarah. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Kuntowijoyo.
Pengantar Ilmu Sejarah. Jogjakarta:
Bentang Budaya, 1995.
Mestika
Zed. Metodologi Sejarah. Padang:
Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang, 1999.
Muhammad
Arif. Pengantar Kajian Sejarah.
Bandung: Yrama Widya, 2011.
[1]Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam
(Yogjakarta: Ombak, 2011), hal. 103.
[2]Heddy Shri Ahimsa Putra, “Paradigma,
Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pemetaan”, Makalah, Disampaikan dalam Pelatihan “Metodologi Penelitian”, yang
diselenggarakan oleh CRCS-UGM di Yogyakarta, 12 Februari – 19 Maret 2007, hal.
22.
[3]Mestika Zed, Metodologi Sejarah (Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri
Padang, 1999), hal. 32.
[4]Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Jogjakarta: Ombak,
2012), hal. 11.
[5]Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985), hal. 32-34.
[6]Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah (Jakarta: Bina
Aksara, 1987), hal. 25.
[7]Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah ( Yogyakarta: Ombak,
2012), hal. 103.
[11]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hal. 89.
[12]Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 68.
[13]Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah (Bandung: Yrama Widya, 2011), hal. 38.
[14]A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012), hal. 66.
[15]Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 104.
[19]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 99.
[20]Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, hal. 107-108.
[22]Ibid.
[24]A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 71.
[25]Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, hal. 112-113.