Rabu, 26 September 2012

Kuliah Umum

Pada Kamis, 20 September 2012 yang lalu Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah mengadakan acara "Kuliah Iftitah". Kegiatan ini menandai dimulainya kegiatan perkuliahan di fakultas Adab dan Humaniora pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013. Yang menjadi tema dalam kegiatan ini adalah: "Ketika Sastrawan Bertemu Pembaca". Maksud dan tujuan dari perkuliahan ini adalah membangkitkan minat mahasiswa terhadap sastra atau menulis kreatif lainnya. Sastra mempunyai peran besar dalam menumbuhkan sifat-sifat humanis terhadap sesama.

Acara yang dihadiri oleh sekitar 230-an mahasiswa itu dibuka oleh Dekan FAH, Prof. H.J. Suyuthi Pulungan, M.A. dan dihadiri oleh para pembantu dekan dan beberapa orang dosen.Kuliah iftitah itu juga diliput oleh beberapa media persuratkabaran Sumsel, seperti: Sumatera Ekspres.

Pada kesempatan ini Drs. Anto Narasoma -pecinta sastra dan sastrawan Sumatera Selatan- diundang untuk menyampaikan kuliah perdana itu. Adapun materi lengkap perkuliahan Mas Anto itu adalah sebagai berikut:


Karya Brilian Seorang “Hamba Sastra”

Oleh:
 Anto Narasoma

MENYANDANG predikat sastrawan tidak segampang jika seseorang menyebut kata sastrawan itu sendiri. Sebab, sebagai abdi dalam dunia kesastraan, seorang sastrawan bertugas menyampaikan pesan moral, baik diproyeksikan lewat kepribadiannya sendiri sebagai seorang hamba Tuhan (Allah SWT), maupun esensi kepribadiannya yang tercermin melalui sebuah karya tulis.
Ada dua momen yang dirasa sorang sastrawan ketika ia merenungkan dirinya sebagai manusia.  Sebagai seorang manusia yang menghambakan dirinya kepada Sang Pencipta (Allah), ia harus melihat batang tubuhnya (jasad) sendiri sebagai nasihat kehidupan.
Sebagai hamba Sang Mahahidup, di dalam dirinya, terdapat sosok pribadi yang disisipi sekeping ruh. Ruh inilah yang memperlihatkan nilai hidup. Refleksi ruh yang ada di diri seorang (sastrawan) menyertakan nasihat hidup yang luar biasa, berupa karunia panca indra.
Belajar dari karunia inilah, seorang sastrawan akan terus belajar dari panca indranya sebagai nasihat hakiki. Belajar dari indra rasa, jika dirinya sakit dicubit, maka ia tidak ingin mencubit diri orang lain. Dan, ketika ia menyimak indra penglihatan, apabila ia melihat orang buta, Masya Allah, ia harus bersyukur bahwa dirinya mampu melihat segala persoalan hidup yang seharusnya bisa membuat dia menjadi lebih bersyukur dan dewasa.
Secara sistematik, karunia itulah yang dapat menggerakkan kata hati (SQ), pikiran (IQ) dan emosi pribadi (EQ). Perangkat inilah yang dimiliki seorang sastrawan ketika ia tengah merenungkan diri untuk mengekspresikan beragam corak karya tulisnya.
Sebab, sasaran utama yang menjadi tujuannya adalah bagaimana mengetengahkan karya tulis yang bermuatan moral ke semua segmen pembacanya.
Bagi sastawan, hidup mati karya tulisnya ditentukan oleh penilaian pembaca. Sebab, respons pembaca akan memberikan nilai bagus atau tidaknya karya yang ia baca. Karena itu, sebelum ia  menghadirkan karya brilian untuk pembacanya, semua sinyal berupa panca indranya akan dikerahkan untuk menangkap sejumlah faktor persoalan yang berkembang di luar dirinya. Faktor inilah yang menjadi bahan menarik untuk dijadikan pesan moral ke dalam karyanya.
Meski berkutat dengan kata, kalimat dan berbagai persoalan karya seorang sastrawan tak terlepas dari nilai-nilai estetika. Sebab, keluwesan dan kelenturan bahasanya mencirikan nilai keindahan yang disebut estetika.
Lantas, bagaimana karya yang ia tulis mampu menjelaskan segala persoalan dalam konteks seni, psikologi, kultur dan kemusiaan (humanis)? Seperti yang disebut di atas bahwa getaran sarana indera yang ada di dirinya akan menangkap jaringan masalah yang ia kemas dengan beragam tutur cerita. Dari sinilah beragam pesan akan ia ungkap lewat berbagai sudut pandang yang dipoles secara estetik.
Secara estetik, karya yang ia tulis akan mampu menjabarkan nilai-nilai kemanusiaan, alam, hewan dan kehidupan secara metaporik. Karena itu sentuhan-sentuhan nilai yang ia urai dalam tulisan kerapkali berbicara tentang kita (manusia), alam dan kehidupan.
 Tak heran ketika ia menulis tentang kemanusiaan yang ia ceritakan dalam uraian itu, seolah penggambaran tentang diri sendiri yang juga dirasakan orang lain.

Indra Rasa
Kali pertama seorang sastrawan mengungkap ide tuturan di dalam karyanya, ia akan menyimak terlebih dulu indera rasa yang ia miliki. Sebab, secara teoritik, upaya ini sangat penting dilakukan karena rasa dan perasaan yang ada di dalam dirinya akan mengisyaratkan ke dirinya sendiri bahwa apa yang ia rasakan tentu akan dirasakan oleh orang lain juga.
Ketika ia menulis tentang kepedihan nasib orang lain yang dilanda kemiskinan, indera rasanya mengisyaratkan bahwa apa yang dirasakan orang akan sama dirasakan olehnya sendiri.
Maka itu pembacanya akan terhipnotis ketika ia membaca karya tulis si sastrawan, karena persoalan (berupa fiksi) yang ia tulis akan menceritakan tentang kemanusiaan secara detil.
Memang, karya tulis yang diwarnai sentuhan indra rasa, biasanya akan mengungkap beragam persoalan menjadi persoalan diri pribadi sang pembaca sendiri. Mengapa begitu? Yah, apa yang dipaparkan sang sastrawan dalam tulisannya seolah menjelaskan ikhwal kejadian yang pernah ia lihat.
Padahal karya tulis sang sastrawan, direka secara intuitif didasarkan atas karangan semata (fiksi). Namun lebih dari itu, ternyata kesan yang didapat pembaca ketika ia selesai membaca buku tersebut, seolah menyentuh pengalaman batinnya sendiri. Itulah kehebatan getar-getar batiniah pembaca  yang muncul dari indra rasa yang ada di dalam dirinya.
Hakikatnya, ketika seorang penulis (sastrawan) ingin merangkai sebuah karya tulis, ikhwal pertama yang perlu ia sadari adalah sarana rasa yang ada di dirinya. Sebab, bahan-bahan tulisan yang sudah tersedia akan menjadi kental setelah peran indra rasa menyentuh kepada episode cerita yang akan dipaparkan sastrawan.
Lantas, bagaimana kita mencari inti rasa untuk merangsang insprirasi dalam menggiring tumpukan ide yang bertaburan di luar diri seorang sastawan?
Tak terlalu berlebihan apabila sebelum menulis seorang sastrawan perlu meraba dan menyentuh kepekaan indra rasanya. Dari sanalah ia akan merasakan nilai kemanusiaan pribadinya (human interest) sebagai alat untuk mengukur rasa dan keinginan pribadi orang lain (pembaca).
Nilai inilah yang akan ia tumpahkan ke dalam karyanya. Artinya, karya yang ia hasilkan tidak hanya sekadar tulisan yang memaparkan berbagai persoalan, tapi ketika pembaca menikmatinya pesan moral yang terdapat di dalamnya akan membekas sebagai gambaran bagi pelajaran hidup mereka.
Lantas, bagaimana cara sastrawan menyatukan perasaan dan pikirannya ketika ia hendak memulai merumuskan bahan tulisan ke dalam karyanya? Pertanyaan ini memang menarik. Sebab, di balik pertanyaan itu ada upaya untuk mengetahui tentang sedalam apa rumusan pikiran seorang sastrawan yang berusaha keras untuk mengolah bahan (inti persoalan) ke dalam tulisannya.
Bahkan. pertanyaan itu pun dapat mencerminkan cara untuk mengetahui kekuatan perasaan dalam memasak inti persoalan yang tengah ia garap, sehingga tumpukan ide dapat dijadikan bahan bacaan yang menarik setelah dijadikan karya tulisan.
Dalam hal menulis, sarana pikiran dan perasaan yang dimiliki seorang sastrawan merupakan kekayaan yang tak pernah habis. Jika ide dan kreativitasnya masih hidup. Dan, apabila usia kehidupan sastawan masih terus bergulir, maka pikirannya akan terus menangkap berbagai persoalan yang berseliweran di sepanjang pengalaman batinnya.
Pokoknya, pahit getir pengalaman yang ia tangkap dari perjalanan hidupnya, akan menjadi limpahan karya yang tak ternilai jumlahnya. Ketika ia pernah mengunjungi sejumlah objek wisata budaya dari berbagai negara, misalnya, semua gambaran yang ia saksikan, akan terekam ke dalam pikirannya. Jika tiba-tiba muncul inspirasi untuk membentuk ide tulisannya, ia sudah tahu arah gerak yang harus ia lakukan.
Sebagai penulis, sastrawan dapat menuangkankan idenya ke dalam berbagai corak tulisan. Bisa saja gambaran pengalamanya dapat dituangkan menjadi puisi, cerpen, novel atau esai budaya. Pokoknya ia tidak akan terikat dengan format dan bentuk tulisan apapun. Jika ia ingin menulis puisi, maka pengalaman batinnya akan tergambar di puisi tersebut. Andaikan ia ingin menumpahkannya ke cerpen, novel atau esai, gambaran itu akan terbaca jelas sebagai bentuk nilai karsa dan prakarsa batinnya.

Mengolah Karsa
Bagi sastrawan, peninggalan benda arkeologi tidak hanya diraba sebagai bentuk peninggalan pra sejarah saja, tetapi lebih dari itu,  candi, prasasti,  artepak dan tembikar, misalnya, merupakan wujud sarana yang dapat mempertajam karsa (gairah).
Ketika ketajaman karsa itu meneropong benda-benda bersejarah tersebut, yang terlihat adalah cerminan kekayaan nilai budaya. Secara estetik, kekayaan itu mampu menerjemahkan benda sebagai dialog keilmuan yang teramat dalam. Lantas, bagaimana menerjemahkan “dialog estetis” itu ke dalam sudut pandang karsa?
Karsa adalah gairah yang mencuat ketika terjadi sentuhan hal menarik dari luar diri kita. Ketika kita melihat benda-benda prasejarah yang unik dan menarik, karsa inilah yang memunculkan ide dalam bentuk inspirasi. Dari sinilah akan muncul sebuah karya sastra yang berkuat dengan kekayaan imajinasi. Jika sebuah karya sastra tercipta dari kekayaan imajinasi penulisnya (sastrawan), ketika dinikmati pembaca, akan muncul dialog hati (kata hati) sebagai pertanyaan. Apakah karya ini sebuah fakta atau memang fiksi murni? Dan, apakah tulisan ini memang fiksi yang difaktakan?
Itulah hebatnya. Ketika seorang sastrawan membuat subuah karya dengan kedalaman estetika di dalam dirinya, maka antara penulis dan pembacanya akan terjadi dialog tidak langsung. Inilah pertemuan estetik antara karya (mewakili sastrawan) dan pembaca.
Jadi, sastrawan dan pembaca merupakan dua mata uang yang tak dapat dipisahkan. Karya sastra tanpa pembaca, ibarat ikan dipisah dari air. Pembaca tanpa bahan bacaan, sama halnya dengan pikiran tanpa wawasan. Maka secara resensif, mati atau hidupnya sebuah karya sastra akan ditentukan dari sikap dan persepsi pembacanya. Karena itu tak ada ceritanya jika seorang pembaca yang sudah menikmati bacaannya akan mengatakan karya itu bagus jika faktanya memang buruk.

Ketemu Pembaca
            Pembaca yang terobsesi oleh bacaannya, biasanya akan muncul rasa ingin ketemu penulisnya. Sebab, kesan mendalam yang terpatri itu akan mendorong rasa ingin tahunya tentang seperti apakah latar belakang sang penulis?
            Munculnya keingin seperti itu sangat wajar. Sebab, dalam konteks bahan bacaan yang dirasa oleh pembaca, apa yang ia nikmati itu hanya sebatas persoalan yang tergambar secara tertulis.  Meski, begitu semua gambaran yang menarik di dalam tulisan itu akan memunculkan rasa ingin tahu tentang siapa sebenarnya penulis buku yang menarik hatinya setelah selesai ia baca.
            Ada dua pintu masuk bagi pembaca untuk bertemu dengan penulisnya (sastrawan). Pintu masuk pertama adalah menikmati sebuah karya (ketemu penulis secara estetika).
            Dalam karya tulis, biasanya sang sastrawan selalu menyajikan seluruh pengalaman batinnya. Apa yang ia rasa secara pribadi (intrinsik), biasanya ia kelola sebaik-baiknya untuk dituturkan secara logika (human intelegencia). Misalnya, ketika mengumpulkan bahan tulisan, seorang sastrawan selalu  berbisik ke hatinya sendiri dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, ketika bahan itu sudah diendapkan ke dalam pikiran dan perasaannya, secara otomatis nilai spitual dirinya akan menuturkan alur tulisannya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan. Inilah kekuatan sebuah karya yang sebelum ditulis, semua bahannya diendapkan secara empiris terlebih dulu. Karena itu, ketika sudah dijadian buku, tulisan itu akan membawa pembacanya ke dalam dunia kehidupan yang seolah pernah dialaminya sendiri.
Dalam kata pengantar di buku kumpulan cerpen Anto Narasoma berjudul “Tamu Misterius dari Laut Lepas”, Prof Dr Maman S Mahayana (sastrawan/dosen sastra Indonesia di Universitas Seoul Korea) mengatakan, cerpen ini seolah menghadirkan fakta di dalam fiksi. Kumpulan cerpen itu berbicara tentang manusia, kehidupan dan seabrek pengalaman yang ada di diri pembacanya sendiri (Seoul, 20 Maret 2005).
            Maka tak heran ketika jumpa dengan penggemarnya (pembaca), sastrawan selalu berbicara tentang kekuatan karyanya yang bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Sebab, pahit getir kehidupan yang pernah ia rasakan, biasanya akan selalu membekas. Suatu ketika, disaat muncul inspirasi untuk menulis, maka karsa dan emosi dirinya akan meluapkan ide-ide brilian itu ke alur tulisan yang dapat mengesankan perasaan pembacanya. (*)


                                                                             Palembang, 19 September 2012



@
Anto Narasoma
Lahir di Palembang, 16 Juni  1963
Pekerjaan : wartawan
Hobi           : membaca, menulis, baca puisi
                     Main teater dan sebarek kesukaan

Istri : Syarifah Abdullah Al-Ba’bud
Lahir di Palembang, 24 Maret 1969
Pekerjaan :Instruktur senam
                    Ibu rumah tangga

Anak:
Ahmad Febriansyah Narasoma (masih kuliah)
Dede Hidayat Narasoma (masih kuliah)
Fitri Amelia Narasoma (masih SMA)

Pernah sekolah di SD (1975), SMP (1979),
SMA (1984) dan terakhir kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu
Publisistik (STIP) Bandung (1988).

Hobi menulis sejak kelas 3 sekolah dasar. Pernah jadi juara
menulis pantun antarsekolah 1973, juara baca puisi
pelajar se-Kota Palembang  (1973). Aktor terbaik se-Sumsel
(1991) pada Festival Teater Forum Komunikasi Teater (FKTS),
Aktor terbaik gerak karikatur pada Festival Teater Sampakan
1995 di Lamongan Jawa Timur, dst.

Pernah membaca puisi di Lamongan dan Surabaya pada
acara Jumpa Sastrawan Nasional (1987), ikut Festival Teater se-Sumsel
versi FKTS Sumsel di LubukLinggau (1985), jadi pembicara
tentang sastra nasional di Pekanbaru Riau (1990), Temu Penyair
Indonesia di  Cianjur Jawa Barat (1994), baca genre puisi Melayu di Patthani Tailand Selatan (1997), baca puisi Melayu di Guangzhou China Selatan
(2007), temu penyair dan baca puisi di TIM Jakarta (2009),
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke-V di Kuala Lumpur Malaysia
(2010)..dst.



Buku:
Umumnya, sejumlah tulisan sastra telah diterbitkan di berbagai
media lokal dan nasional. Kumpulan puisi ‘Aku Terbelit Rindu’
(1979), ‘Bahasa Angin’ (1992), Kumpulan puisi ‘Empat Wajah’ (2002),
Syair Tsunami (2005), Kumpulan puisi ‘Semangkuk Embun’ (2009)
dan Kumpulan Cerpen ‘Tamu Misterius dari Laut Lepas’ (2010)..dst.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar