HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN MODERN
Oleh :
Iyus Jayusman, Drs. M.Pd.
A. Pengertian Historiografi
Historigrafi terbentuk dari dua
akar kata yaitu history dan grafi. Histori
artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi, historiografi
artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem
oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya
karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan
masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya
menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud
dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang
ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis
secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.
Pada dasarnya buku
sejarah yang sering kita lihat dan sering kita baca, baik itu yang ada di
perpustakaan maupun di toko-toko buku, pada dasarnya itu historiografi.
Buku-buku bacaan yang di dalamnya yang bukan kajian sejarah, itu tidak
termasuk kategori historiografi, karena tidak berkaitan dengan kejadian masa
lampau. Jadi dengan demikian, suatu karya tulis bisa dikatakan
historiografi apabila kajian di dalamnya mencerminkan kisah sejarah dari
suatu kejadian
sejarah. Historiografi
mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia mengenal tulisan
atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal tulisan,
pada dasarnya mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya
sebagai manusia dalam keluarga dan hidup berbangsa bernegara.
B. Historiografi
Tradisional
Historiografi tradisional adalah
karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan, baik
itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Buddha maupun kerajaan/kesultanan yang
bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia.
Seperti kita ketahui
di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa Indonesia memasuki
zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama yang
dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Buddha. Contohnya di
Kalimantan berdiri kerajaan Hindu Kutai, di Jawa Barat bediri kerajaan
Tarumanegara, Galuh Medang Kamulyan, Adityawarman dan
lain-lain. Di Jawa Tengah ada kerajaan Airlangga, Mataram Hindu, dan di
Jawa Timur ada kerajaan Singosari, Blambangan, dan lain-lain. Memasuki abad
ke-7, di Nusantara Indonesia, bediri pula kerajaan-kerajaan yang lebih
besar wilayah kekuasaannya seperti kerajaan Pajajaran, Galuh, Sunda, Sriwijaya,
Majapahit, Mataram Hindu dan lain-lain. Pada dasarnya di kerajaan-kerajaan
tersebut ada khusus orang-orang yang ditugaskan oleh raja untuk menulis sejarah
yaitu dengan gelar Pujangga (Sejarawan Keraton).
Karya-karya sejarah
yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil karyanya
biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk
historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan
Hindu/Buddha sebagai berikut: [1] Babad Tanah
Pasundan, [2] Babad Parahiangan, [3] Babad Tanah Jawa, [4] Pararaton, [5] Nagarakertagama, [6] Babad Galuh, [7] Babad
Sriwijaya, dan lain-lain. Sedangkan karya historiografi tradisional yang
ditulis para pujangga dari kerajaan Islam diantaranya: [1] Babad Cirebon, yaitu karya
dari Kerajaan Islam Cirebon, [2] Babad Banten, yaitu karya
dari Kerajaan Islam Banten, [3] Babad Dipenogoro yaitu karya
yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, [4] Babad Demak, yaitu karya
tulis dari Kerajaan Islam Demak, [5] Babad Aceh, dan lain-lain.
Karakteristik
Historiografi Tradisional. Historiografi tradisional bila dibaca
isinya sangat subjektif (menyanjung-nyanjung sang raja dan keluarga
keraton/istana) dan penulisannya dicampur aduk dengan mitos, legenda
dan kekuatan magis (raja ditulis sebagai orang yang gagah sakti,
bisa menghilang, tidak mempan senjata tajam dll) yang melingkupinya pada
saat tersebut. Dengan fakta penulisannya yang demikian, seperti tertulis
di atas, maka ketika kita membaca historiografi tradisional diperlukan kehati-hatian,
ketelitian dalam memaknai setiap rangkaian kata yang
menjadi kisah di dalamnya.
Adapun karakteristik dari historiografi tradisional adalah sebagai berikut:
- Historiografi
tradisional ditulis bersifat istana/keraton sentries, artinya karya
historiografi tradisional didalamnya banyak mengungkapkan sekitar
kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak
mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap
a-historis.
- Historiografi
tradisional ditulis bersifat Religio magis, artinya dalam
historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang
memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan energi ghaib. Tujuannya
agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya,
sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat
akan memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan
sebagai perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.
- Historiografi
tradisional ditulis bersifat regio sentrisme, artinya
historiografi tradisional ditulis lebih menonjolkan regio (wilayah)
kekuasaan suatu kerajaan. Sebagai contoh, ada historiografi tradisional
dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti
Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten, dll.
- Historiografi
tradisional ditulis bersifat etnosentrisme, artinya dalam
historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/
egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
- Historiografi
tradisional ditulis bersifat psiko-politis sentrisme, artinya
historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan
muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi
tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka
mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya
historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab
suci yang di dalamnya
penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Dalam
batas-batas tertentu apakah historiografi tradisional bisa dijadikan untuk
sumber penulisan sejarah? Jawabnya bisa. Sebab kendatipun demikian, di dalam kandungan
isi dan kisahnya tertulis nama daerah, nama orang dan tahun
kejadian. Contoh dalam Babad Galuh, Banten, Cirebon dll, di sana tertulis
nama raja atau para tokoh terkait lainnya, dan tentu saja nama wilayah/daerah
dan tahun kejadian pun tertulis di dalamnya, kendati angka tahun ditulis dengan
candera sengkala. Contoh, kerajaan Majapahit runtuh diungkapkan dengan
kata-kata: “sirna ilang kertaning bhumi” artinya tahun 1478 M. Dengan
demikian, maka historiografi
tradisional dalam batas-batas tertentu bisa dijadikan sumber untuk penulisan
sejarah, dengan alasan ketiga faktor tersebut di atas. Untuk itu, menurut hemat
penulis, karya-karya tulis dalam bentuk naskah, babad dan lain-lain yang dewasa
ini ada di daerah dan dimiliki oleh tokoh-tokoh tertentu, perlu
di-inventarisir, sebab bagaimanapun di dalamnya tersimpan bukti-bukti dan
fakta-fakta yang sangat berharga sebagai sumber penulisan sejarah dewasa ini.
Harapan penulis, seandainya di daerah di mana anda berdomisili ditemukan ada
babad, naskah kuno (HT) dan lain-lain anda harus punya kepedulian untuk
melestarikannya. Sebab bagi sejarawan itu bagaikan bongkahan emas yang tak
ternilai harganya.
C. Historiografi
Kolonial
Historiografi Kolonial adalah
karya sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis pada masa
pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman
VOC (1600)sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika
tentara pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan,
pemerintahan Hindia Belanda yang dikendalikan oleh para
Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif menulis karya
sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah karya tulis
sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial
berkuasa di Nusantara Indonesia. Contoh karya historiografi kolonial yang
paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh Raffles dengan judul History of Java. Karya lainnya adalah
karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van
Indonesia (Sejarah
Indonesia). Karya B.H.M. Vlekke dengan judul: Geschiedenis
van den Indischen Archipel (Sejarah Nusantara). Karya G. Gonggrijp
dengan judul: Schets ener Economische Geschiedenis van
Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia
Belanda).
Inti cerita sejarah
dari Historiografi Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah
yang dipandang penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia
Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki”
oleh Belanda. Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya
sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa
Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak
dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang
berguna bagi Belanda.
Perhatikan
penggalan kutipan kisah sejarah di bawah ini yang ditulis oleh sejarawan
kolonial dalam Historiografi Kolonial yang sangat menyudutkan bangsa Indonesia
dan mengagung-agungkan bangsa Belanda:
“Pada
tahun 1653 ada seorang raja di Tanah Goa yang bernama Sultan Hasanuddin. Adapun raja itu
tiada mengindahkan Kompeni; orang Maluku yang durhaka kepada Kompeni
dibantunya; tambahan lagi diperanginya Sultan Buton yang bersahabat dengan
Belanda”.
“Sultan
Agung Tirtayasa itu cerdik lagi bijaksana dan tetap hatinya, rukun Islam
dikerjakannya dengan sungguh-sungguh, tetapi kelakuannya kerapkali bengis dan
hatinya tiada lurus; se-umur hidupnya Sultan itu dengki kepada Kompeni; niatnya
hendak meramaikan Banten serta membinasakan Betawi”.
“Jikalau
kita bandingkan hal orang kecil pada zaman dahulu dengan zaman yang sekarang,
nyatalah bahwa sekarang lebih senang dan selamat daripada ketika kuasa
Raja-raja tiada berhingga; Raja itu kerapkali menganiaya anak buahnya, karena
tiada undang-undang, hanya hawa nafsu raja”.
Karakteristik
Historiografi Kolonial. Historiografi
Kolonial karakteristiknya bersifat Belanda Sentrisme atau Neerlando Sentrismus artinya
sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda
yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu. Dengan
demikian, dalam historiografi kolonial peran orang-orang Belanda dalam panggung
sejarah ditulis secara berlebihan, dan penduduk bumi putra peran kesejarahannya
ditulis/ diungkapkan
hanya sedikit saja. Bahkan warga penduduk bumiputera oleh Belanda dipandang
sebagai non-faktor dalam sejarah. Sebagai contoh, dalam sejarah
perekonomian dan politik pada masa kolonial, orang-orang Belanda ditulis
sebagai manusia-manusia unggul yang bisa mengendalikan
sector usaha ekonomi dan politik di Nusantara
Indonesia. Orang-orang Belanda dianggap sebagai manusia paling sempurna,
paling super dalam berbagai aktivitas kehidupan di Nusantara Indonesia.
Sehingga peran mereka ditulis dalam Historiografi Kolonial bisa menghabiskan
halaman berlembar-lembar. Sungguh sangat ironis, sedangkan peran
rakyat pribumi sebagai pemilik negeri Nusantara Indonesia ditulis
sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman tulisan yang sangat minim.
Sejarawan kolonial menganggap, bahwa rakyat pribumi dianggap sebagai
manusia non-faktor dalam sejarah. Perhatikan secara seksama
sipat cerita sejarah Indonesia yang dilukiskan oleh penulis Belanda bernama Dr.
F.W. Stafel yang bisa dilihat dari jumlah halaman buku pegangan Sejarah
Hindia Belanda sebagai berikut:
Zaman
Purbakala dan Hindu ditulis 25 halaman;
Penyiaran
Islam dan bangsa Portugis di Indonesia 8 halaman;
VOC
(kongsi dagang Belanda) 152 halaman; dan
Pemerintah
Belanda 150 halaman. Jadi, Jumlah = 335 halaman
Alhasil dapat ditegaskan, bahwa
cerita sejarah Indonesia yang ditulis sebelum tahun 1942 pada dasarnya bukan
Sejarah Indonesia, tetapi sejarah Belanda di Indonesia. Dalam historiografi
kolonial, tokoh-tokoh seperti Imam Bonjol, Dipanegara, Sultan Agung, Sukarno,
Hatta, Wahidin, Bung Tomo dan tokoh pejuang lainnya dipandang sebagai
penghianat dan sebagai pemberontak. Padahal kalau menurut kita, tokoh-tokoh
seperti tersebut termaksud di atas adalah sebagai pahlawan nasional yang
telah berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia.
Bagaimanapun
keberadaan Historiografi Kolonial ini sangat membahayakan, terutama kalau karya
tersebut dibaca oleh anak didik kita yang ada di jenjang pendidikan
Sekolah Dasar (SD) dan sederajat; Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat;
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Mengapa Historiografi Kolonial
dikatakan membahayakan? Karena wawasan pemahaman kesejarahan mereka (anak
didik) dipandang masih dangkal. Tidaklah berlebihan kalau mereka akan
menganggap, bahwa pejabat-pejabat kolonial itu sebagai pahlawannya, dan para
pejuang bumi putra dipandang sebagai pemberontak, pengecut. Padahal mereka
sebagai pejuang yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Ringkasnya, dalam
Historiografi Kolonial, fakta-fakta kesejarahan yang terkait dengan rakyat bumi
putra atau elite bumi putra, dengan sengaja diputar balikan, tujuannya guna
menyudutkan posisi warga penduduk bumi putra, dan dibalik itu semua pihak kolonial
Belanda mengambil keuntungan-keuntungan psikologis, ekonomis, dan politis. Tapi
jangan salah, warga pribumi yang suka menjilat kepada Belanda, mereka mendapat
tempat dalam sejarah, dan secara finansial mereka hidup diuntungkan dalam
berbagai kesempatan.
Timbul suatu
pertanyaan, apakah historigrafi kolonial bisa dijadikan sumber untuk penulisan
sejarah nasional dewasa ini? Jawabannya bisa. Alasannya, karena Historigrafi
Kolonial di dalamnya kaya dengan fakta-fakta kesejarahan yang terjadi di bumi
Nusantara Indonesia.
D. Historiografi
Nasional
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Muhammad Hatta atas
nama rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai konsekuensi logis dari
proklamasi kemerdekaan ini, maka lahirlah suatu negara yang merdeka dan
berdaulat yang kemudian diberi nama Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Setelah NKRI
terbentuk, maka tumbuh suatu keinginan dari rakyat Indonesia untuk
menulis sejarahnya sendiri sebagai pengganti dari Historiografi Kolonial. Karya-karya
sejarah yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Indonesia di masa
kemerdekaan dewasa ini (1945-2011), biasa disebut sebagai Historiografi
Nasional. Historiografi Nasional adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh
sejarawan-sejarawan Indonesia yang di dalamnya (kandungan isi
ceritanya/kisahnya) banyak mengungkapkan sisi-sisi kehidupan rakyat Indoneia
sepanjang masa yang diungkapkan dari sudut kepentingan pembangunan
bangsa Indonesia itu sendiri. Contoh Historiografi Nasional yang paling
monumental adalah buku babon SEJARAH NASIONAL INDONESIA yang terdiri
dari VII Jilid.
Karakteristik
Historiografi Nasional. Historiografi
Nasional karakteristiknya bersifat Indonesia
Sentrisme, artinya bahwa Sejarah Nasional Indonesia (SNI)
harus ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia itu sendiri. Tugas
dari historiografi nasional adalah “membongkar dan merevisi”
historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan
oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan,
khususnya pembangunan sikap mental bangsa (terutama generasi
muda) Indonesia dewasa ini.
Permasalahan yang
kita hadapi dewasa ini adalah, mampukah kita (sejarawan) atau
bangsa Indonesia untuk menulis kembali sejarah yang
betul-betul mengungkapkan aktivitas rakyat Indonesia secara
keseluruhan sebagai pengganti peran orang-orang Belanda yang telah demikian
lama menghiasi lembaran-lembaran penulisan sejarah Indonesia. Dewasa ini
kita harus mampu menulis karya sejarah yang total history, artinya seluruh
aktivitas rakyat Nusantara Indonesia, terutama pada masa kolonial harus
terungkapkan. Dalam hal ini misalnya aktivitas masyarakat petani, nelayan,
buruh tani, kuli, pedagang, santri dan lain sebagainya harus ditulis kembali.
Tentu saja, untuk
menulis sejarah Indonesia yang bergaya total history ada
konsekwensi harus menerapkan pendekatan metodologi yang lebih mutakhir, sebab
pendekatan metode yang konvensional tidak akan mampu membongkar secara
totalitas dari aktivitas rakyat Indonesia di masa kolonial yang
sangat komplektitas itu. Dengan demikian, pendekatan metode apakah yang
dianggap dapat diandalkan untuk mewujudkan karya historiografi yang total
history itu?
Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo, guru besar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
menawarkan sebuah konsep, yakni pendekatan metodo-logis interdisipliner
approach and multidimensional approach. Sebetulnya, model pendekatan
seperti tersebut di atas sudah mulai ditempuh di Perancis yang terutama
dipelopori oleh mereka para sejarawan dari aliran Analles. Disebut
aliran Analles,
karena karya-karya mereka terbit dan dimuat dalam majalah yang bernama Analles, dengan
tokohnya diantaranya Marc Bloch.
Masalah pendekatan metodologis yang interdisipliner dan multidimensional
approach ini akan dibahas dalam Seri Kuliah B.
Thanks bro
BalasHapus