PENDUDUK DAN PERKEMBANGAN KOTA YOGYAKARTA, 1900-1990
Oleh :Djoko Suryo (djoko98@yahoo.com)
Salah satu persoalan rumit yang dihadapi kota-kota
di Indonesia pada masa kini adalah persoalan penduduk, tanah dan lahan
permukiman dan usaha. Paling tidak pada sekitar 1900-an isu tentang peledakan
penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta gejala urbanisasi
mulai mengemuka di Jawa, sebagaimana tercermin dalam isu tentang Mindere
Welvaart (Kemerosotan Kemakmuran) yang muncul pada masa itu. Isu-isu itu
mengundang tuntutan perbaikan kebijakan dari pihak pemerintah. Kebijakan
Politik Etis dengan trilogi programnya, yaitu pendidikan, emigrasi dan irigasi,
dan kebijakan Perbaikan Kampung ( Kampung Verbeteringen ), penanggulangan
kesehatan, pendirian Lumbung Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan lainnya yang
dilancarkan pada sekitar dua dekade pertama awal abad ke-20 merupakan solusi
penting terhadap persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semuanya itu melatari
perjalanan perkembangan kota-kota di Indonesia.
Sementara itu, perkembangan
kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada 1900-1940-an meningkat, sejalan
dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-sektor tertentu,
misalnya pertambangan, perkebunan, perdagangan dan perindustrian. Perkembangan
kota yang terjadi pada masa itu, memiliki ciri khas yaitu menjadi basis
kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau
priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi Putra
atau Pribumi, di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing
Timur, yaitu Orang Cina. Mereka itu pada hakekatnya menjadi embrio kelahiran
“orang Indonesia” pada awal abad ke-20. Di kalangan mereka itulah sesungguhnya
kesadaran akan bangsa dan identitas baru muncul, yaitu indentitas “orang
Indonesia”. Selain kota Jakarta (Batavia), kota Bandung, Yogyakarta, dan
Surabaya berkembang menjadi kota besar yang berperan sebagai pusat modernisasi.
Hal yang sama juga berlaku untuk kota Semarang, Medan dan Makasar.
Pesatnya proses modernisasi,
industrialisasi, komersialisasi dan edukasi yang terpusat di kota-kota besar
telah menjadi faktor pengerak perubahan dan penarik arus urbanisasi dan migrasi
penduduk di daerah Indonesia. Kota menjanjikan bagi penduduk yang tinggal di
daerah pedesaan atau di daerah lain di Indonesia. Selain itu, kemajemukan
penduduk yang telah menjadi ciri kota-kota colonial, pada masa sesudah Perang
Dunia II menjadi semakin berkembang dan lebih-lebih pada masa Orde Baru.
Pluralitas penduduk perkotaan
di Indonesia, pada hakekatnya menjadi faktor pendorong bagi berlangsungnya
proses integrasi dan Indonesianisasi di Indonesia. Proses ini berlangsung tidak
hanya melalui kegiatan dalam segi-segi admininistari dan politik pemerintahan
dan perekonomian, tetapi juga melalui proses interaksi sosial dan dialog
budaya.
Tulisan singkat ini bermaksud
akan mengemukakan segi-segi yang berkatian dengan perkembangan penduduk dan
perubahan profil kota Yogyakarta pada sekitar periode 1900-1990-an. Salah satu pertanyaan
yang ingin dijawab ialah tentang bagaimanakah tata ruang kota menjadi semakin
berubah sebagai akibat dari tekanan perkembangan penduduk. Secara singkat
berikut ini akan dikemukakan segi-segi latar geografis, historis dari
berdirinya kota, segi-segi perkembangan kependudukan dan etnisitas, dan
perubahan profil kota Yogyakarta yang terjadi selama periode tersebut.
Latar Geografis Kota Yogyakarta
Letak wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara
110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26”
Lintang Selatan. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir tiga buah sungai dari
arah utara ke selatan, yaitu Sungai Winongo yang terletak di bagian barat kota,
Sungai Code terletak di bagian tengah dan Sungai Gadjah Wong terletak di bagian
timur. Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng
gunung Merapi, dengan kemiringan yang relatif datar (antara 0-3 %) dan pada
ketinggian 114 meter di atas permukaan air laut. Adapun wilayah kota yang
luasnya 32,50 km2 di sebelah utara dibatasi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah
timur dibatasi oleh Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan oleh
Kabupaten Bantul dan sebelah barat oleh Kabupaten Bantul dan Sleman (Pemerintah
Kota Yogyakarta, 2002, hlm. 3). Batas-batas kota tersebut sesungguhnya
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dari masa
kerajaan, kolonial, kemerdekaaan dan masa-masa mutakhir.
Kedudukan kota Yogyakarta
sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah menjadi Ibu Kota Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Gubernur, dan masa kinmi dijabat oleh
Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu kota Yogyakarta pada masa kini juga
menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta yang dipimipin oleh seorang Wali
Kota. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45
Kelurahan, 617 RW (Rukun Warga) dan 2.532 RT (Rukun Tangga) (Buku Saku
Kotamadya Yogyakarta, 1998). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa luas
wilayah kota Yogyakarta mengalami proses perubahan dari semenjak pendirian kota
hingga masa mutakhir. Luas dan kecepatan pemekaran fisik tersebut dapat dilihat
dari tahun 1796 – 1996.
Latar Historis Pendirian Kota
Secara historis kota Yogyakarta berawal dari
sebuah Kota Istana atau Kota Kraton bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang
terletak di daerah agraris pedalam Jawa dibangun pada 1756 oleh Sultan Hamengku
Buwono I (Pangeran Mangku Bumi ). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi
peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta)
pada 1755 sebagai hasil Perjanjian Giyanti (Sunan Paku Buwono III dan Sultan
Mangkubumi). Ada petunjuk bahwa pendirian kota Yogyakarta itu telah dirancang
secara saksama oleh Pangeran Mangkubumi sebagai pendirinya, yang diduga
berbakat arsitek. Hal ini dapat ditelusuri terutama dari segi proses pemilihan
lokasi (hutan Beringan), tahap-tahap pendirian banguan kraton, konstruksi tata
ruang, konsep tata-ruang, dan bangunan arsitektural istana yang penuh
simbolisme pandangan dunia kebudayaan Jawa. Pendirian kota yang dirancang
sebagai kota istana kerajaan atau Kuthanegara atau Negari itu benar-benar
dilakukan melalui kerangka pemikiran konseptual tradisi Jawa, yaitu mendirikan
pusat permukiman dengan konsep “Babad Alas” atau “Membuka Hutan”. Di atas lahan
terbuka tersebut rupanya kemudian pendiri kota itu membangun istana sebagai
kota pusat pemerintahan kerajaan dan sekaligus pusat permukiman warga kota
kerajaan di sekitarnya. Pembukaan kota istana semacam itu pada hakekatnya
mengikuti tradisi para pendahulunya, seperti yang dilakukan oleh Senapati
ketika mendirikan Kota Gede menjadi pusat kota Kerajaan Mataram Islam pertama
pada sekitar akhir abad ke 16.
Disebutkan bahwa selain
membangun bangunan kraton beserta dua alun-alun di bagian utara dan selatan
kraton, ia juga membangun temnok beteng yang mengitari istana, bangunan Taman
sari dan sebuah Tugu yang didirikan di bagian utara kraton yang jaraknya kurang
lebih 2.5 km dari pusat kraton. Selain itu juga dibangun sebuah bangunan
panggung untuk berburu di desa Krapyak yang terletak di bagian selatan kraton
ke arah Parangkusumo di Pesisir Laut Selatan. Di luar bangunan pusat kraton itu
pada masa berikutnya berkembang menjadi pusat permukiman penduduk warga kraton
yang sekaligus menjadi warga kota Yogyakarta pada masa awal.
Banyak para pemerhati dan
peneliti, terutama Professor Otto Sumarwoto (Otto Sumarwoto, 2003), yang
mengkaji penyusunan tata ruang kota Yogyakarta itu berpendapat bahwa sumbu
lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo- Panggung Krapyak – Kraton –
Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus atau poros yang membujur
dari Selatan ke Utara. Sementara pihak semula menyebut Poros Selatan-Utara itu
sebagai “Poros Imaginer” dari n dunia kebudayaanya. simbolisme filosofi
pandangan dunia kraton Yogyakarta. Akan tetapi Prof. Otto Sumarwoto tidak
menyetujui istilah “Poros Imajiner” tersebut karena ia telah melakukan
penelitian secara saksama sehingga dapat membuktikan secara ilmiah tentang
adanya “Garis Lurus” Selatan-Utara tersebut. Oleh karena itu ia lebih menegaskan
nama garis lurus itu sebagai “Poros Simbolik- Filosofis Selatan-Utara dari
Kraton Yogyakarta. Arah Poros Selatan-Utara ini sekaligus menjadi awal arah
pertumbuhan kota, yang kemudian disusul dengan arah Timur-Barat ketika jaringan
transportasi berkembang sejak abad ke-19. Disebut sebagai “Tugu Golong-Gilig”,
yang memiliki makna simbolis dari konsep manunggaling kawula-gusti, yaitu
konsep perstuan antara rakyat dan raja dalam perjuangan melawan Belanda. Akan
tetapi pada sekitar tahun 1867 tugu tersebut mengalami kerusakan akibat gempa
bumi, sehingga pada tahun 1889 dibangun kembali oleh pemerintah kolonial dalam
bentuk seperti yang ada pada masa sekarang ini. Dengan demikian simbol
golong-gilig dianggap telah hilang, dan simbol tugu yang baru dianggap berbeda
maknanya dengan yang semula (Otto Sumarwoto, 2003, 16). Dari uraian di atas
dapat dikatakan bahwa, kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tradisional
yang dibangun melalui sebuah perencanaan dengan konsep beserta filosofi
pembangunan kota berdasarkan pandangan dunia kebudayaan yang berlaku dalam
masyarakatnya.
Sesuai dengan konsep
kebudayaan tradisional Jawa, Kota Istana Yogyakarta itu ditempatkan sebagai ibu
kota Negara kerajaan dan menjadi pusat pemerintahan dan politik bagi wilayah
kerajaannya, dengan sebutan sebagai wilayah Negara Agung (Pusat Negara). Konsep
dan struktur kerajaan semacam ini berlangsung sejak masa kerajaan Mataram di
bawah Sultan Agung hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Dinamika perkembangan
kota Yogyakarta pada masa kemudian berlangsung sesuai dengan
perubahan-perubahan politik dari masa kolonial hingga masa Kemerdekaan.
Demikian pula dinamika perkembangan penduduk kota Yogyakarta berlangsung sesuai
dengan perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang berlangsun dari
masa yang panjang tersebut.
Perkembangan Permukiman menuju Pluralitas
Penduduk Kota Yogyakarta
Pada awal perkembangannya permukiman kota
Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar Selatan Utara, Permukiman berupa
kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang
melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro dan
kemudian hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai
kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk
yang menempatinya. Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur
kota tampak semakin memusat dan padat.
Istana atau Kraton yang
terletak di pusat kota dikelilingi oleh bangunan benteng dan wilayah yang ada
di dalamnya dikenal sebagai daerah “Jero Benteng” atau “Jeron Benteng” atau
“Dalam benteng”. Daerah di dalam benteng itu melingkupi Alun-alun Utara,
Tratag, Pagelaran, Sitihinggil, Prabayaksa, Kraton Kilen, tempat tinggal raja,
dan Alun-alun Kidul. Sebagian dari para bangsawan kerabat dekat raja juga
tinggal di dalam Jero Benteng. Selain itu di dalam Jero Benteng juga terdapat
sejumlah kampung tempat abdi dalem kraton yang bertugas sehari-hari melayani
kraton. Sebagai contoh, Kampung Kemitbumen menjadi tempat tinggal abdi dalem kemit
bumi yang bertugas sebagai pemersih kraton. Kampung Siliran, tempat tinggal
abdi dalem Silir, yaitu mereka yang bertugas mengurusi lampu penerangan kraton.
Kampung Gamelan, merupakan tempat abdi dalem yang mengurusi kuda kraton.
Kampung Pesidenan, merupakan tempat tinggal abdi dalem pesinden atau wiraswara,
yaitu mereka yang bertugas untuk menembangkan tembang-tembang Jawa dalam
acara-acara dan upacara kraton. Kampung Patehan, merupakan tempat tinggal para
abdi dalem yang bertugas menyediakan minuman di kraton. Kampun Nagan, menjadi
tempat tinggal abdi dalem penabuh gamelan Jawa. Kampung Suranatan, merupakan
tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu
sebagai ulama kraton. Adapun kampong tempat tinggal para bangsawan juga diberi
nama menurut nama pangerannya mendiaminya, seperti Pakuningratan, Jayakusuman,
Ngadikusuman, Panembahan, Mangkubumen, Suryadiningratan, dan sebagainya.
Kampung yang tumbuh di daerah
luar benteng (Jaba Benteng) kebanyakan merupakan tempat tinggal hamba istana
lainnya, termasuk kelompok-kelompok profesional, seperti petugas dalam bidang
administrasi pemerintahan, prajurit, tukang, pengrajin, dan juga tempat kaum
bangsawan lainnya lagi. Nama-nama kampong itu anatara lain sebagai berikut.
Kampung Pajeksan, tempat kediaman para jaksa. Kampung Gandekan merupakan tempat
kediaman para pesuruh. Kampung Dagen, merupakan tempat kediaman para petugas
tukang kayu. Kampung Jlagran merupakan tempat tinggal para petugas tukang batu.
Kampung Gowongan, menjadi tempat tinggal para petugas tukang ahli bangunan.
Adapun Kampung Menduran, merupakan tempat tinggal orang-orang Madura. Sementara
itu Kampung Wirabrajan, Patangpuluhan, Daengan, Jogokaryan, Prawirataman,
Ketanggungan, Mantrijeron, Nyutran, serta Surakarsan dan Bugisan merupakan
tempat tinggal para anggota prajurit kraton. Masih banyak lagi nama-nama
kampong lainnya, yang juga merupakan tempat kediaman para petugas kraton, yang
jumlahnya cukup banyak.
Perkembangan permukinam kota
Yogyakarta sejak akhir abad ke-19 cenderung menjadi semakin plural sebagai
akibat dari semakin banyaknya orang-rang asing yang tinggal di kota Yogyakarta.
Selain orang Cina, orang-orang Belanda dan orang Barat lainnya juga banyak yang
tinggal di kota ini. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah Belanda, para
pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya. Selain orang-orang asing,
orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk tinggal di
tempat ini. Seperti halnya penduduk di kota-kota kolonial, warga kota
Yogyakarta pada akhirnya juga dapat dibedakan atas tiga golongan penduduk,
yaitu Golongan Orang Eropa, golongan Orang Asing Timur dan golongan Orang Bumi
Putra.
Bidang-bidang birokrasi
pemerintahan, keamanan, perkebunan, dan leveransir kebutuhan hidup. Mereka
tinggal di sekitar permukiman masyarakat Eropa di Loji Besar, Loji Kecil, Kota
Baru, dan Sagan. Kelompok etnik orang Arab dan Cina umumnya memiliki aktivitas
di bidang perekonomian seperti pedagang, pemungut cukai pasar, rumah gadai,
rumah persewaan candu, rumah gadai, serta menjadi perantara antara orang Barat
dan orang Bumi Putra. Mereka umumnya tinggal di Kampung Pecinan, Sayidan,
Kranggan, dan Loji kecil.
Pecahnya Perang Dunia II dan
datangnya Pemerintahan Pendudukan Jepang pada 1942, telah membawa berakhirnya pemerintahan
Hindia Belanda dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang berlanjut dengan
Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Perkembangan terakhir tersebut telah membawa
kemunduran penduduk bangsa Eropa di Kota Yogyakarta. Banyak orang-orang Belanda
kembali ke Negari Belanda dan tidak kembali lagi ke Yogyakarta, Sebaliknya,
selama masa pendudukan Jepang 1942-1945 sejumlah orang Jepang datang dan diam
di kota Yogyakarta. Sementara itu pada masa pecah perang kemerdekaan, banyak
penduduk kota yang meninggalkan kota untuk mengamankan diri, sehingga dapat
diduga penduduk kota Yogyakarta berkurang.
Akan tetapi, sebaliknya,
selama tahun 1945-1849 Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, dan
banyak para pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh nasional dari Jakarta atau
Jawa Barat hijrah ke Yogyakarta. Pada saat itu pula kota Yogyakarta menjadi
kota perjuangan dan kota revolusi yang sangat penting bagi sejarah bangsa.
Sejak itu jalan Malioboro muncul dan menjadi pusat kota yang legendaris, yang
menyimpan memori kolektif masa perjuangan di kota Yogfyakarta. Malioboro
menjadi ekologi simbolik baru bagi kota Yogyakarta, yaitu menjadi arena
persebaran makna dan gagasan serta citra baru dari masa revolusi di lingkungan
kota Yogyakarta.
Tidak boleh dilupakan pada
saat yang sama Universitas Gadjah Mada juga didirikan pada 1949 sebagai
Universitas Negari dan Universitas Nasional yang pertama di Indonesia. Sejak
itu UGM berperan sebagi tempat belajar bagi para pemuda dari seluruh kepulauan
Indonesia. Peran UGM menjadi sangat penting dalam pembangunan kesatuan bangsa,
karena UGM kemudian berperan sebagai “melting-pot” bagi pemuda yang berasal
dari segala golongan etnis dan penjuru tanah air yang belajar dan tinggal
bersama di kota Yogyakarta. untuk menjadi satu kesatuan anak bangsa yang
terpelajar dan cerdas. Memang tidak berlebihan untuk dikemukakan bahwa alumni
UGM umumnya kemudian tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Umumnya pada
masa-masa awal mereka menempati posisi pentingdi jajaran pemerintah daerahnya
masing-masing. Setelah selesai belajar dari UGM di kota Yogyakarta memang
kebanyakan mereka pulang ke daerah tempat asalnya dan bekerja di pemerintah
daerah setempat serta menjadi penggerak pembangunan daerahnya masing-masing.
Tidak mengherankan apabila sejak itu kota Yogyakarta menjadi kota tujuan
belajar dari pemuda-pemuda dari seluruh tanah air, karena itu kota Yogyakarta
mendapat predikat sebagai Kota Pelajar. Pada masa yang sama kota Yogfyakarta
juga mendapat julukan sebagi Kota Sepeda, karena para pelajar dan mahasiswa
umumnya naik sepeda pergi-pulang sekolah atau kuliah.
Perlu dicatat pula sejak masa
revolusi sampai tahun 1950-an dan 1960-an kota Yogyakarta juga menjadi pusat
kelahiran seniman dan karya-karya seni yang terkemuka dari berbagai cabang
seni, seperti seni lukis, seni sastra, teater, seni patung dan seni musik
beserta sanggar-sanggarnya. Lebih-lebih seni pedalangan dan seni tari
tradisional Jawa juga berkembang di kota ini, di samping seni-seni modern.
Tidak mengherankan apabila pada periode itu juga kota Yogyakarta mendapat
sebuitan sebagai Kota Budaya. Selanjutnya pada masa berikutnya ketika turism
menjadi Kota Tujuan Wisata. Dengan demikian Yogyakarta berkembang menjadi kota
yang penuh simbol. Salah satu yang menarik dari kecenderungan pada masa mutakhir
kota Yogyakarta pada hakekatnya adalah posisinya yang semakin kuat menjadi Kota
Nasional atau “Kota Indonesia”, tercermin dari komposisi penduduknya yang
secara plural terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Perkembangan Kota Yogyakarta, 1900 –
1990-an: Masalah Pemekaran Fisik Kota.
Salah satu persoalan penting dihadapi oleh kota
Yogyakarta dalam perkembangan mutakhir adalah masalah pemekaran fisik kota.
Kota makin menghadapi tantangan untuk meluaskan wilayah tata ruang kota sebagai
akibat dari perubahan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan penduduk
semakin mendesak. Meningkatnya perubahan demografis yang secara dinamis terus
meningkat telah mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan untuk
berbagai kepentingan, baik kepentingan permukiman dan perumahan maupun
kepentingan fasilitas social-ekonomi Agus Suryanto dalam kajiannya tentang
perubahan penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 1959-1996 telah
membuktikan bahwa secara historis telah terjadi perubahan luas penggunaan lahan
tiap masa sehingga terjadinya pemekaran wilayah fisik kota pada setiap periode,
dan periode 1959-1996 merupakan periode percepatan pemekaran fisik yang paling
tinggi dibanding dengan periode seblumnya (Agus Suryanto, 2002).
Hal itu dapat dilihat bahwa
sejak 1756 hingga 1996 kota Yogyakarta secara berangsur-angsur mengalami
pemekaran luas wilayah kota dari luas semula 359.55 Ha menjadi 6687.99 Ha. pada
masa yang terakhir. Perbandingan kecepatan pemekaran pada setiap periode dapat
disimak, terutama pada periode pertama 1756-1824 dan periode akhir 1987-1996.
Pada periode pertama 1576-1824, yang berlangsung selama 68 tahun, telah terjadi
penambahan luas fisik kota seluas 764.59 Ha. Hal ini berarti bahwa rata-rata
kecepatan pemekaran lahan pada setiap tahunnya adalah 11.24 Ha. Sementara itu,
pada periode 1987-1996, yang berlangsung dalam waktu 9 tahun, kota Yogyakarta
telah memperoleh penambahan luas lahan sebesar 2025.78 Ha., yang berarti bahwa
pada setiap tahunnya telah terjadi kecepatan pemekaran sebesar 225.09 Ha. Ini
merupakan suatu kecepatan perluasan wilayah kota yang cukup besar bagi kota
Yogyakarta.
Dua faktor penyebab perubahan
penggunaan lahan tersebut di atas, menurut penelitian Agus Suryanto adalah
faktor konsentrasi penduduk dan faktor kebutuhan ketersediaan fasilitas social
ekonomi. Faktor konsentrasi penduduk adalah kepadatan penduduk dalam satuan
Jiwa per Km2 pada masing-masing kecamatan. Sebagai contog pada tahun 1987
jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Gondokusuman (59.739 jiwa) dan paling
sedikit di Kecamatan Pakualaman (15.439 jiwa). Pada tahun 1996 jumlah tertinggi
di Kecamatan Gondokusuman (71.058 jiwa) dan paling sedikit di Kecamatan
Pakualam (14.282 jiwa). Sementara itu kepadatan penduduk tertinggi antara lain
terdapat di Kecamatan Gedongtengen (26.781 jiwa per Km2) dan Kecamatan
Danurejan (26.689 jiwa per Km2), adapun kepadatan terrendah adalah terdapat di
Kecamatan Umbulharjo (7.328 jiwa per Km2) dan Kecamatan Kotagede (8.329 jiwa
per Km2).
Faktor penyebab kedua adalah
faktor fasilitas social ekonomi yang mendorong perubahan penggunaan lahan
pertanahan kota, antara lain mencakup segi-segi kebutuhan sebagai berikut.
(1) Penambahan lahan untuk permukiman dan
perumahan.
(2) Perluasan dan penambahan panjang jalan untuk
fasilitas sarana transportasi.
(3) Fasilitas perdagangan, yaitu jumlah pasar,
pertokoan, Swalayan, Mall, dan sebagainya
(4) Fasilitas pendidikan, yaitu gedung
persekolahan
(5) Fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit,
klinik dan tempat-tempat untuk pengobatan.
(6) Fasilitas peribadatan, yaitu mesjid, mushala
dan gereja atau yang sejenis
(7) Fasilitas kelembagan yaitu perkantoran baik
swasta maupun pemerintah.
(8) Fasilitas olah-raga
(9) Fasilitas hiburan, seperti gedung bioskop,
gedung kesenian, dan gedung -gedung pertemuan ataupun perhelatan dan yang
sejenis.
Selain itu pada aklhir-akhir
ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang merencanakan pencarian
lahan untuk pelabuhan udara baru sebagai akibat dari tidak memadainya pelabuhan
udara Adisucipto untuk menampung arus penerbangan yang makin padat pada
akhir-akhir ini. Lebih-lebih pada waktu sekarang Yogyakarta telah membuka jalur
penerbangan internasional. internasional, sehingga pembangunan pelabuhan
internasional menjadi kebutuhan yang mendesak. Selain itu kota Yogyakarta yang
menjadi kota tujuan wisata menuntut perluasan-perluasan fasilitas pengembangan
wisata baik dalam kota maupun di daerah sekitarnya. Pengaruh globalisasi dalam
sector perekonomian juga tampak mempengaruhi arus perubahan kota Yogyakarta.
Yang menjadi persoalan ialah
bagaimana perluasan wilayah perkotaan itu dapat dilakukan, mengingata luas
lahan kolta yang tersedia sangat terbatas, sementara perkembangan otonomi
daerah akan membatasi ruang gerak pemekaran wilayah antara satu wilayah dengan
wilayah yang lain. Dalam hal ini ialah persoalan hambatan batas wilayah antara
Pemerintah Kota Yogyakarta dengan wilayah Pemerintah Kabupaten sekitarnya,
yaitu Sleman, Bantul dan Gunung Kidul.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa secara
hisoris kota Yogyakarta mengalami perubahan-perubahan yang dinamis dari sejak
masa pendirian kota itu oleh Pangeran Mangkubumi pada 1756 hingga masa
sekarang, baik perubahan demografis, social, ekonomi dan politik. Perubahan
demografis dan social-ekonomi telah menjadi salah satu faktor penting dalam
membawa dinamika perunbahan tata ruang kota Yogyaakarta dari masa ke masa.
Salah satu pengaruh terpenting
dari perubahan-perubahan demografis dan social-ekonomi yang mempengaruhi kota
Yogyakarta antara lain ialah terjadi persoalan pemekaran kota yang secara
terus-menerus akan terjadi sebagai akibat dorongan dan kebutuhan penggunaaan
lahan untuk kepentingan penduduk kota dalam bebrbagai dimensi kehidupan.
Problema pertanahan kota menjadi sangat rumit sebagai akibat dari banyaknya
keterbatasan dan kendala yang dihadapi kota Yongyakarta pada masa mendatrang. Kecenderungan
perubahan kota Yogyakarta yang menarik adalah kecenderungan perubahan kota dari
Kota Tradisional menjadi Kota Nasional atau Kota Indonesia, menuju perkembangan
ke arah Kota Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrrahman Surjomihardjo.
Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1880-1930. Yogyakarta: Yayasan
Untuk Indonesia, 2000.
Agus Suryantoro. “Perubahan
Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-1996 dengan menggunakan Foto Udara.
Kajian Utama Perubahan Luas, Jenis, Prekuensi, dan Kecepatan Perubahan
Penggunaan Lahan serta Faktor Pengaruhnya”. Disertasi Doktor dalam Ilmu
Geografi Pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002.
Chamamah Soeratno, Michael
Vatikiotis, Djoko Suryo, C. Bakdi Soemanto, and GBPH H. Joyokusumo (eds.). Kraton
Jogja: The History and Cultural Heritage. Jakarta: Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat and Indonesian Marketing Association (IMA), 2002.
Hal, Peter. Cities of
Tomorrow, an Intellectual History of Urban Planning and Design in the Twentieth
Century. Oxford: Blackwell Publishers, 1998.
Nas, P.J., “Jakarta, City
Full of Symbols, An Essay in Symbolic Ecology ”, dalam Peter J.M. Nas (ed.), Urban
Symbolism. Leiden: E.J. Brill, 1993, hlm. 13 -37.
Nur Aini Setiawati. “Dari
Tanah Sultan menuju Tanah Rakyat, Pola Pemilikan, Penguasaan, dan Sengketa
Tanah di Kota Yogyakarta setelah Reorganisasi Tanah 1917”. Tesis S2 Ilmu
Sejarah di Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2000.
Otto Soemarwoto. “Towards
Jogja, The Eco-City. The Regional Agenda 21 for Sustainable Tourism Development
in the Special province of Yogyakarta”. Laporan Penelitian untuk Pemerintah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (Tanpa angka Tahun).
___________ (ed.). Menuju
Jogja, Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21 Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, 2003.
Pemerintah Kota Yogyakarta.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor: 13 Tahun 2002 tentang Pola Dasar
Pembangunan Daerah Tahun 2002-2006.
Pemerintah Kota
Yogyakarta. Buku Saku Kota Yogyakarta, 1995-1999.
Artikel, 14 Februari 2007
Casino City Map & Reviews - Mapyro
BalasHapusCasino City is one of the top casinos in North 수원 출장안마 Carolina, featuring a casino and some 남원 출장샵 poker rooms. The state is the 삼척 출장마사지 only 구미 출장마사지 state where you can legally 전라남도 출장샵