Minggu, 21 April 2013

PALEMBANG DALAM DINAMIKA SEJARAH: Pendekatan Sejarah Visioner Oleh: Nor Huda



PALEMBANG DALAM DINAMIKA SEJARAH:
Pendekatan Sejarah Visioner

Oleh:
Nor Huda
Dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang


Indonesia masih ketinggalan dalam pendidikan
untuk mencintai tanah air lewat keindahan sejarah.
Bahkan, kita melihat adanya vandalisme
terhadap bangunan bersejarah.
Bersama sejarah, kita belajar jatuh cinta
(Kuntowijoyo, 1995: 31)

Pengantar
Tema ini diangkat sebagai pangkal diskusi dalam upaya untuk merenungkan kembali pemahaman kita tentang makna dari perjalanan sejarah masyarakat dan Pemerintah Kota Palembang sebagai proses kesinambungan (contunuity) dan perubahan (change). Kesinambungan dan perubahan ini merupakan dinamika perjalanan masyarakat yang menyangkut tiga entitas waktu: kelampauan (past), kekinian (present), dan kemasadatangan (future).[1] Perspektif dan visi sejarah seperti ini dapat ini dapat dipahami keterkaitan masa kini yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan persoalan masa lampau dan masa yang akan datang. Dengan demikian, sejarah sebagai salah satu cabang ilmu yang memiliki kontribusi dalam pembangunan.
Sesunggugnya, sejarah tidak hanya membicarakan masa lalu untuk masa lalu itu sendiri. Sikap ini adalah antiquarian. Sejarah memiliki kegunaan untuk masa kini, karena masa sekarang dibentuk oleh masa lalunya. Karena itu, apa yang kita lakukan pada masa kini sangat menentukan masa yang akan datang. Masa kini tidak dapat dipahami tanpa pemahaman masa lampau dan masa yang akan datang. Menurut John Luckas, pada hakikatnya, masa kini merupakan hasil proses pergulatan dan pergumulan antara faktor-faktor “dorong” (push) dan “tarik” (pull) dari masa lampau dan masa yang akan datang di satu pihak, dan faktor-faktor endogen dan eksogen pada pihak lain. Faktor-faktor inilah yang menandai inti dinamika sejarah masa kini.[2] Salah satu tugas sejarawan adalah melacak perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia dalam kontinum masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Tujuannya, agar peristiwa sejarah dapat dipetik manfaatnya dalam memahami dan membantu pemecahan persoalan-persoalan masa kini. Berdasarkan pemahaman masa kini pulalah kita dapat membantu dalam merencanakan kebijakan masyarakatnya dalaam menentukan arah perjalanan sejarah masa datang.
Tulisan pendek ini berupaya menganalisis beberapa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Palembang dengan pendekatan sejarah visioner.[3] Perspektif ini mengaitkan persoalan-persoalan masa masa kini dengan masa lalu dan masa yang akan datang. Meskipun tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan problematika yang dihadapi Pemerintah dan masyarakat Kota Palembang, tetapi setidaknya, tulisan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian penulis terhadap Kota “Pempek” ini.

Njingok Masa Lalu Palembang: Denget Bae
Palembang merupakan salah satu kota tua, bahkan tertua, di Indonesia. Kota ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 682M. Kini, usia Palembang sudah mencapai lebih dari 13 abad. Rentang sejarah yang demikian panjang tentu saja telah mewarnai dinamika perkembangan Palembang. Banyak warisan yang ditinggalkan oleh masa lalu Palembang kepada kita di masa kini, baik berupa artifact, sociofact, maupun mentifact. Peninggalan berupa artefact, misalnya: prasasti Kedukan Bukit, sisa-sisa reruntuhan bekas Kerajaan Sriwijaya, Masjid Agung, Benteng Kuto Besak, Kota Tua Belanda di sepanjang Jalan Merdeka dan Kambang Iwak, Palembang, dan sebagainya. Sociofact, misalnya, banyak dijumpainya komunitas masyarakat Palembang yang beragam: komunitas Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, Madura, Arab, India, dan China. Berkembangnya beragam agama Budha, Konghucu, Islam, dan bahkan aliran kepercayaan di Palembang merupakan fakta-fakta sejarah yang berupa mentalitas (mentifact).
Keragaman tersebut menunjukkan masyarakat Palembang merupakan masyarakat yang terbuka (welcome) terhadap setiap kelompok yang berbeda. Mereka mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap setiap perbedaan. Kondisi ini mendukung terjadinya asimilasi dan akulturasi budaya di Palembang, sebuah kebudayaan yang khas Palembang. Bahasa Palembang yang merupakan percampuran antara Bahasa Jawa dan Melayu adalah salah satu contohnya.[4] Contoh yang lain adalah legenda Pulau Kemaro. Legenda ini menggambarkan terjadinya asimilasi kebudayaan di Palembang melalui jalur pernikahan. Dalam legenda itu dikisahkan pernikahan antara Puteri Sriwijaya (Siti Fathimah) dengan Pangeran dari Negeri China (Tan Bun Ann) yang berakhir tragis. Akulturasi budaya juga tampak dalam arsitektur Masjid Agung Palembang. Masjid merupakan akulturasi dari tiga kebudayaan: Indonesia, China (atap masjid), dan Eropa (pintu gerbang masjid).[5]
Tingkat asimilasi dan akulturasi yang tinggi di Palembang tampaknya didukung oleh kondisi topografi dan geografi Palembang itu sendiri. Secara topografis, Palembang adalah suatu kota waterfont, yang menghadap ke air (Sungai Musi) dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong tepiannya sehingga membentuk sebuah laguna.[6] Sungai Musi dapat dilayari oleh kapal-kapal dari muaranya di Muara Sungsang sampai ke pelabuhan yang berada di tengah-tengah Kota Palembang. Kota ini adalah pusat dengan Batanghari Sembilannya, sebagai pintu masuk dan keluar yang penting bagi Sumatera Selatan dan sebagai pertemuan perhubungan darat dan laut.[7]
Kondisi topografis dan geografis yang demikian telah mendukung Kota Palembang sebagai pusat ekonomis dan bisnis di Sumatera. Kebesaran Palembang sebagai kota dagang distributor untuk daerah luar Palembang dan sebagai penghubung jaringan perdagangan pusat-pusat perniagaan Hindia Belanda bagian barat. Buktinya, Palembang mendapat julukan sebagai de groote handelstad van Sumatera, state of production, commerce and trade, dan stete of estates. Julukan-julukan ini menegaskan bahwa semua urusan bisnis sangat dominan di Palembang.[8]
Begitu pentingnya transportasi air bagi masyarakat kota yang berjuluk “Venesia Dari Timur” ini, maka banyak dijumpai rumah rakit di tepian Sungai Musi dan anak sungainya. Sevenhoven melukiskan rumah rakit sebagai berikut:
Rumah-rumah rakit itu dibangun yang terdiri dari balok-balok yang dijalin dengan bambu dan ditambatkan pada tepi sungai atau pada tiang-tiang yang ditanam dalam tanah dengan jalinan rotan yang jauh lebih kuat daripada tali rami. Rakit-rakit itu naik turun bersama-sama dengan pasang surut air. Rakit-rakit itu dihubungkan dengan daraatan oleh jembatan-jembatan terapung; kadang orang datang dan pergi dari rakit-rakit itu dengan mempergunakan perahu-perahu kecil.[9]

Pada masa Hindia Belanda, rumah rakit merupakan sebuah tempat tinggal yang menyenangkan. Selain berhawa sejuk karena dapat menangkap angin dari segala penjuru, rumah rakit juga dekat dengan air sungai yang memudahkan mereka untuk memelihara kesehatan.
Di samping itu, dalam sejarahnya, Palembangjuga dikenal sebagai kota intelektual. Pada masa kejayaan Sriwijaya, Palembang merupakan pusat studi agama Budha. Sebelum calon-calon Bikhshu itu belajar lebih lanjut ke India, mereka harus belajar dulu di Palembang. Nama Syakyakirti adalah mahaguru agama Buddha yang sangat terkenal pada masa itu. Tradisi Palembang sebagai intelektual dilanjutkan oleh kesultanan. Ketika Sriwijaya hancur dan Palembang menjadi pusat Kesultanan, kota ini juga menjadi pusat intelektual Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Beberapa di antaranya dapat disebutkan nama-namanya: Syaikh Muhammad ‘Aqib bin Hasanuddin, Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad (1811-1874 M), Masagus haji Abdul hamid bin Mahmud (1811-1901 M); dan ulama yang paling terkenal di Palembang adalah ‘Abd al-Shamad al-Palimbani. Palembang menjadi pusat studi Islam dan sastra (1750-1820) setelah kemunduruan Aceh. Kebiasaan memelihara ulama keraton telah dirintis sejak zaman Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757).[10] Sejak itulah muncul nama-nama ulama besar dari Palembang.
Kemolekan dan potensi Kota Palembang tersebut telah menarik minat orang-orang datang ke Palembang. Arus migrasi ke Kota Palembang memicu pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Berdasar catatan van den Heuvel, pada 1880-an jumlah penduduk Palembang sekitar 60.000-an.[11] Sekitar satu abad kemudian, yaitu pada 1930, jumlah penduduk Palembang sekitar 100.000 jiwa, dan menjadi 150.000 jiwa pada 1940. Sampai 1955, penduduk Palembang diperkirakan mencapai 400.000 jiwa, tetapi yang terdaftar secara resmi hanya sekitar 285.348 jiwa saja. Penduduk yang tidak terdaftar ini umumnya adalah pendatang (tumpang) yang berasal dari desa-desa di sekitar Sumatera Selatan.[12] Sementara itu, pada 1960, jumlah penduduk Palembang diperkiran telah mencapai 800.000 jiwa. Kini, 2012, jumlah penduduk Palembang telah mencapai 1.611.309 jiwa yang mendiami wilayah seluas 369,22 kilometer persegi.
Ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat untuk pindah ke Palembang dan menodorng tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota Palembang. Di antara faktor-faktor itu adalah: [1] cukup tersedianya mata pencaharian, [2] adanya perusahaan minyka Plaju dan Sungai Gerong, [3] Palembang sebagai kota air dan udara, dan [3] proses migrasi.[13] Adapun yang mendorong terjadinya urbanisasi ke Palembang adalah: [a] karena dorongan perjuangan mempertahankan kemerdekan tanah air, [b] karena ingin melanjutkan studi, dan [c] karena daya tarik kehidupan di perkotaan.[14]
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat tentu saja akan menimbulkan persoalan tersendiri dalam penataan ruang Kota Palembang. Namun, pembangunan dan penataan Kota Palembang terus dan harus dilakukan. Pada masa kesultanan, cukup disadari bahwa Palembang merupakan wilayah perairan. Karena itu, sultan membagi wilayah-wilayah itu berdasarkan tata “ruang air”. Namun, tata “ruang air” ini dianggap ketinggalan zaman ketika Palembang menjadi bagian wilayah Hindia Belanda. Pemerintah berusaha membuka “ruang daratan” sebagai bagian dari modernisasi kota. Modernisasi ini berusaha mengubah transportasi “ruang air” menjadi transportasi darat. Caranya adalah dengan menimbun beberapa sungai yang mengalir di sekitar Kota Palembang.
Sungai Tengkuruk menjadi sungai pertama yang ditimbun pemerintah Kota Palembang pada 1928.[15] Kebijakan untuk menimbun sungai dan rawa terus dilakukan untuk memodernisasi kota. Penimbunan ini juga dilakukan untuk membuka ruang daratan sebagai pemukiman, pasar, dan tempat-tempat prasarana umum. Pembangunan jalan dan jembatan yang menimbun sungai tersebut membawa implikasi bagi masyarakat lokal yang melakukan proses adaptasi terhadap pola daratan yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Penimbunan ini juga menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan ekologis di Palembang saat ini.
Sedikit gambaran historis kultural di atas memberi kesan kepada kita bahwa Kota Palembang mempunyai potensi besar dalam pembangunan. Potensi ini tidak hanya berkaitan dengan sumber daya alam yang, tetapi juga warisan sosio-kultural yang cukup kondusif bagi tercapainya pembangunan Kota Palembang yang humanis. Semua potensi pembangunan ini merupakan modal dasar yang harus digali dan dikembangkan.

Problem Palembang Masa Kini dan Peran Sejarah
Dilihat dari usia yang cukup tua, sejatinya, Palembang semakin berpengalaman, lebih dewasa, dan bijaksana. Idealnya, Palembang merupakan kota tua yang sudah beradaban modern di era globalisasi ini. Pada kenyataannya, Kota Palembang belum disejajarkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa yang lebih dulu maju dan berkembang secara perekonomian, infrastruktur, sosial, kependudukan dan sebagainya meski usianya jauh lebih muda. Namun, bukan hal yang tidak mungkin kota ini patut diperhitungkan sebagai kota metropolitan yang sedang go international dan akan mampu bersaing dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Juga, banyak program yang diluncurkan untuk membangun Kota Palembang, dari Palembang Darussalam sampai Grand dan Green City. Untuk mewujudkan semua ini, tentu saja, perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya pandangan holistik dalam membangun sebuah wilayah. Dalam kata lain, para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai aspek dalam kerangka bidang-bidang keilmuan. Pembangunan tidak hanya berkaitan dengan benda-benda mati, tetapi juga melibatkan komunitas manusia dan lingkungannya. Pembangunan pun harus mempertimbangkan kesinambungan; kesinambungan historis, sosiologis, ekonomis, politis, dan kultural. Kegagalan pembangunan di Indonesia adalah karena tidak mempertimbangkan aspek kesinambungan. Kita selalu memulai pembangunan dari titik nol, memulai dari awal. Karena itu, pembangunan terkesan mandeg dan bersifat sesaat.
Identifikasi masalah mutlak diperlukan. Skala prioritas pun harus dilaksanakan. Ada salah seorang warga Palembang yang memberi beberapa catatan dan penilaian terhadap kota kelahirannya ini. Melalui blog di dunia maya yang dimilikinya, dia mengidentifikasi beberapa masalah yang harus segera mendapat penanganan dari Pemerintah Kota Palembang. Identifikasi masalah ini merupakan masukan bagi pemegang kebijakan (eksekutif dan legislatif) dalam membangun dan menyejahterakan warga Kota Palembang. Beberapa problem itu adalah sebadai berikut.[16]
Pertama, Persoalan banjir. Hampir sebagian besar warga sangat terpukul ketika banjir pada musim penghujan menggenangi rumah mereka. Aktivitas perekonomian menjadi terhambat. Sekolah harus tutup dan para muridnya diliburkan sampai banjir menyusut. Kalau banjirnya parah dan lama, akan berdampak semakin merosotnya aktivitas perekonomian warga. Pemerintah sudah seharusnya mempunyai tindakan taktis agar banjir yang setiap tahun menjadi langganan, itu tidak selalu terulang dan bukan menjadikannya sebagai budaya banjir. Tentunya, hal ini tidak terlepas dari peran warga masyarakat. Mereka dapat berperan aktif dan melakukan tindakan nyata dalam mengatasi banjir yang terjadi setiap tahun.
Kedua, Persoalan jalan dan alat transportasi. Jalan bukan hanya milik para pengendara kendaraan bermotor saja. Tapi milik semua dan wajib saling menghormati sesama pemakai jalan lainnya (seperti sepeda, becak, pejalan kaki). Namun, seiring pesatnya perekonomian, ternyata berdampak semakin meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor yang tentu saja semakin bertambah sesaknya jalan. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor juga berbanding lurus dengan angka kecelakaan lalu lintas. Belum lagi masih banyak jalan berlubang menyebabkan sering terjadinya kecelakaan. Selain perlu secara berkala meningkatkan kualitas jalan raya, pemerintah juga sangat perlu dan mendesak menyediakan transportasi publik yang nyaman dan aman. Bus Trans Musi yang telah disediakan kepada publik baru-baru ini harusnya bisa mengurangi jumlah kendaraan bermotor, sehingga mengurangi jumlah polusi emisi gas buang kendaraan bermotor.
Ketiga, ruang publik terbuka hijau. Akhir-akhir ini menjadi perdebatan dan permasalahan perubahan status kawasan Gedung Olahraga Bumi Sriwijaya antara sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan warga, dengan pemerintah. Akankah hilang ruang publik terbuka hijau setelah berubah menjadi “Palembang Sport dan Convention Center“? Ruang publik terbuka hijau di tengah kota pelan-pelan tidak ada lagi. Padahal akses ke ruang publik terbuka hijau sangat dibutuhkan bagi warga masyarakat untuk rekreasi dan olahraga agar terhindar dari asap kendaraan bermotor. Bukan hanya untuk orang-orang yang memiliki status ekonomi menengah atas, tapi seluruh lapisan masyarakat bisa menikmati ruang terbuka hijau itu. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan wisata sejarah sebagai ruang publik yang sekaligus melestarikan kekayaan sejarah budaya yang bertebaran di Kota Palembang.
Selain ketiga masalah di atas, ada satu hal penting yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah Kota Palembang. Masalah itu berkaiatan dengan keamanan. Hampir setiap hari kita menyaksikan dan mendengarkan kasus tindakan kriminalitas di wilayah ini. Kasus-kasus itu berupa tindakan penodongan, pencopetan, penjambretan, pembunuhan, dan pencurian. Ciri yang paling mudah untuk menggambarkan Kota Palembang belum aman dari tindakan kriminal adalah pemasangan teralis besi di rumah tinggal atau perkantoran. Hampir setiap pintu atau jendela rumah dan perkantoran di Kota Palembang dilengkapi teralis besi untuk mencegah tindakan pencurian. Pemilik mobil dan sepeda motor juga harus memasang kunci tambahan demi keamanan. Sebagian masyarakat juga dihinggapi rasa was-was jika harus bepergian dengan angkutan umum. Fenomena ini, tentu saja, bertolak belakang dengan slogan “Darussalam” di belakang penyebutan Kota Palembang.
Beberapa masalah di atas harus segera diselesaikan oleh pengambil kebijakan di Kota Palembang. Pemerintah dapat memanfaatkan hasil penelitian beberapa bidang keilmuan. Maksudnya, agar pembangunan itu dapat dirasakan oleh semua pihak dan menekan dampak yang ditimbulkan. Salah satu  bidang ilmu yang dimanfaatkan adalah ilmu sejarah. Selama ini, orang memandang sejarah hanya memiliki kegunaan pragmatis, seperti untuk pendidikan dan pencarian jati diri bangsa. Sementara itu, kegunaan praktis sejarah dianggap tidak ada, sehingga sejarah tidak termasuk bagian dari intelegensi bersama. Kalau orang berbicara tentang peranan ilmu sosial dalam pembangunan, sejarah selalu ditinggalkan sebagaimana dikeluhkan oleh Kuntowijoyo.[17]
Dalam kegiatan pembangunan ada empat tahap, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (monitoring), dan penilaian (evaluating). Menurut Kuntowijoyo, sejarah sebagai ilmu akan berguna dalam perencanaan dan penilaian, sedangkan untuk pelaksanaan dan pengawasan diserahkan pada “kelincahan” sang sejarawan. Ada tiga cara ilmu sejarah untuk memahami perencanaan dan penilaian pembangunan. Cara-cara itu adalah melalui sejarah perbandingan (comparative history), paralelisme sejarah (historical parallelism), dan evolusi sejarah (historical evolution).[18] Jika ketiga cara sejarah ini digunakan untuk menyeleaikan beberapa persoalan yang terjadi di Kota Palembang, penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sejarah perbandingan adalah membandingkan pembangunan di sutu tempat dengan tempat lainnya. Dalam hal ini Pemerintah Kota Palembang dapat belajar dari kota-kota di Indonesia atau luar negeri. Dalam masalah banjir misalnya, Palembang dapat belajar dari Pemerintah Kota Jakarta. Maksud belajar di sini bukan hanya dari keberhasilan, tetapi dapat juga belajar dari kegagalan Jakarta dalam menangani banjir. Kota Palembang dapat belajar mengapa sampai saat ini Kota Jakarta belum dapat mengatasi banjir. Dari Kota Jakarta ini pula Kota Palembang dapat belajar bagaimana menata ruang publik, pemukiman kumuh, dan sebagainya dari kota lain. Palembang, sebagai “kota perairan” juga dapat belajar dari kota-kota di Eropa yang telah berhasil memanfaatkan transportasi air dengan baik.
Melalui sejarah perbandingan pula Kota Palembang dapat belajar dari Pemerintah Daerah Bali atau Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pengelolaan aset wisata dengan mengembangkan pariwisata sejarah. Di Yogyakarta tidak dapat mengandalkan pendapatan daerah hanya dari sektor pertanian yang terbatas. Yogyakarta juga tidak banyak dijumpai perusahaan-perusahan besar. Karena itu, untuk pemerintah DIY perlu menggali potensi lain dalam memperoleh pendapatan asli daerah. Caranya, dengan mengelola secara maksimal potensi sejarah dan budaya yang ada. Hal ini juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang. Dengan demikian, peninggalan-peninggalan sejarah tidak perlu dihancurkan hanya demi membangun mal atau hotel dengan alasan modernisasi kota dan menggairahkan sektor perekonomian.
Masa tertentu juga dapat diketahui melalui belajar paralelisme sejarah, yaitu kesejajaran antara masa lalu dan masa tertentu yang sedang dibicarakan. Konon, pada masa Pemerintah Hindia Belanda, pengelolaan daerah air minum di Palembang merupakan yang terbaik. PDAM setempat dapat belajar banyak dari sejarah tentang pengelolaan air minum. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda juga melakukan penimbunan-penimbunan sungai. Pemerintah kota dapat belajar banyak dari kasus seperti baik dampak buruk maupun baik dari sebuah kebijakan. Dengan paralelisme sejarah seperti ini kita dapat belajar bahwa seharusnya penimbunan sungai dan rawa harus dilakukan dengan bijaksana. Bagaimanapun daerah-daerah rawa dan sungai harus dibiarkan sebagai tempat peresapan air. Ini merupakan salah satu solusi dalam mengurangi daerah banjir yang setiap tahun datang di Palembang. Jadi, paralelisme sejarah dapat digunakan dalam menyusun tata ruang kota di masa depan.
Kota Palembang yang diprogramkan sebagai kota internasional ke depan juga dapat belajar dari paralelisme sejarah. Dari sejarah, sebetulnya, Palembang sudah menjadi kota internasional sejak dulu. Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan etnis tertentu merupakan salah satu buktinya. Pemerintah Kota Palembang dapat belajar banyak dari kasus seperti ini untuk menjadikan Palembang sebagai kota internasional [lagi].
Untuk mengetahui persoalan yang akan timbul akibat pembangunan kita dapat belajar dari evolusi sejarah. Misalnya ada program bantuan masyarakat miskin. Program seperti ini biasanya memunculkan tindakan manipulasi data. Persekongkolan sering terjadi antara pihak-pihak pelaksana tugas di bawah dengan beberapa orang yang seharusnya tidak layak dikategorikan masyarakat miskin. Contoh lagi, masalah program sertifikasi tanah untuk perumahan atau perkebunan. Program seperti ini sering menyebabkan mudahnya jual beli tanah dan penyerobotan tanah milik yang mengakibatkan gerakan-gerakan massa.
Sebagai catatan akhir pada bagian ini perlu kiranya dinukilkan beberapa kalimat Kuntowijoyo dalam kaitannya dengan peran ilmu sejarah dalam pembangunan. Biasanya, bagi analis pembangunan dapat dirumuskan dengan kata-kata abstrak, seperti industrialisasi dan demokratisasi. Namun, dalam Daftar Usulan Proyek (DUP) yang akan menjadi Daftar Isian Proyek (DIP) harus dinyatakan dengan konkret. Pembangunan yang bersifat konkret itu (jembatan, jalan raya, dam, pabrik, sekolahan, pertambahan penduduk, daya baca, dan sebagainya) yang bersifat kuantitatif harus “diterjemahkan” dalam bahasa kualitatif, sehingga dapat dibandingkan, dicari paralelismenya, atau evolusinya. Di tingkat analisis “bahasa” yang dipakai adalah “bahasa ilmu” yang bersifat abstrak.

Catatan Akhir
Di usia yang lebih dari 13 abad ini, Kota Palembang semakin percaya diri sebagai kota internasional yang besar, asri, dan damai (Darussalam). Untuk mewujudkan kota yang seperti ini, kita perlu berpikir holistik. Maksudnya, berbagai bidang kajian keilmuan perlu menjadi bahan rujukan dalam pembangunan. Khusus dalam ilmu sejarah kita dapat belajar pada masa lampau dalam sejarah Palembang. Memang, peristiwa sejarah hanya terjadi sekali (unik), tetapi pola-pola sejarah akan berulang. Dengan demikian, ada kesinambungan dan perubahan antara masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dengan mempertimbangkan sejarah visioner pola-pola, sejarah yang muncul kembali itu dapat membantu merumuskan strategi pembangunan Kota Palembang ke depan.
Ada tiga cara untuk memanfaatkan sejarah dalam pembangunan. Ketiga cara itu adalah melalui sejarah perbandingan, paralelisme sejarah, dan evolusi sejarah. Pemanfataan sejarah dalam pembangunan untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Ilmu sejarah juga dapat menujukkan perlunya kelanjutan dari sebuah kebijakan. Dengan demikian, ada kesinambungan pembangunan meski rezim politik berganti. Rezim penguasa boleh berganti, tetapi kebijakan yang dapat mensejahterakan rakyatnya harus tetap dilanjutkan. Tidak semuanya rezim penguasa sebelumnya adalah buruk. Sebaliknya, penguasa baru tidak semuanya baik. Demikianlah, sejarah mendidik kita berpikir kritis dan bersikap arif dalam memahami persoalan.


Daftar Pustaka
Baderel Munir Amin, et al. Tata Bahasa dan Kamus Baso Palembang. Palembang: Yayasan Madrasah Najahiyah, 2010.
Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang. Palembang: Rhama Publishing House, 1956.
Carmalos, Don. “Palembang Setengah Abad”, dalam Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang. Palembang: Rhama Publishing House, 1956.
Dedi Irwanto M. Santun, et al. Iliran dan Uluan: Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher, 2010.
Dedi Irwanto Muhammad Santun. Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Jota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak, 2011.
Djoko Suryo. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009.
Husni Rahim. “Sistem Otoritas dan Administrasi Islam di Palembang (Studi tentang Pejabat Agama di Masa Kesultanan dan di Masa Kolonial), Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1994.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Peeters, Jeroen. Kaum Tuo-kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang, 1821-1942, terj. Sutan Maimoen. Jakarta: INIS, 1997.
Retno Purwanti. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Jati Diri Yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang, editor Achadiati Ikram. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara, 2004.
van Sevenhoven, J.L. Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1971.



[1]Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009), h. 28.
[2]Ibid.
[3]Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah visioner di sini adalah sebuah model pendekatan integratif sejarah linear yang menyeimbangkan penekanan orientasi kajiannya secara integratif yang menyangkut tiga dimensi temporal, yaitu: masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang agar mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam menjawab persoalan masa kini dan masa yang akan datang. Lihat ibid., h. 13.
[4]Lihat Baderel Munir Amin, et al., Tata Bahasa dan Kamus Baso Palembang (Palembang: Yayasan Madrasah Najahiyah, 2010), h. 2.
[5]Lihat Retno Purwanti, “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Jati Diri Yang Terlupakan: Naskah-naskah Palembang, editor Achadiati Ikram (Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara, 2004), h. 34.
[6]Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Jota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 4.
[7]Don Carmalos, “Palembang Setengah Abad”, dalam Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang (Palembang: Rhama Publishing House, 1956), h. 87.
[8]Dedi Irwanto M. Santun, et al., Iliran dan Uluan: Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), h. 5.
[9]J.L. van Sevenhoven, Lukisan tentang Ibukota Palembang, terj. Sugarda Purbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1971), h. 14-5.
[10]Husni Rahim, “Sistem Otoritas dan Administrasi Islam di Palembang (Studi tentang Pejabat Agama di Masa Kesultanan dan di Masa Kolonial), Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1994), h. 110.
[11]Jeroen Peeters, Kaum Tuo-kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang, 1821-1942, terj. Sutan Maimoen (Jakarta: INIS, 1997), h. 6.
[12]Perincian Penduduk di Kota Palembang pada 1955 itu adalah: 241.089 jiwa warga negara Indonesia, 37.737 jiwa keturunan China, 2.030 jiwa Belanda, 860 jiwa India, 3.629 jiwa Arab, 30 orang Amerika, 9 orang Jepang, 1 orang Jerman, 3 orang Belgia, dan 10 orang dari negera-negara Barat lainnya. Lihat Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang (Palembang: Rhama Publishing House, 1956), h. 163.
[13]Ibid., h. 164-5.
[14]Ibid., h. 166.
[15]Dedi Irwanto, Venesia dari Timur, h. 45; Buku Peringatan Lima Puluh Tahun Kota-Pradja Palembang, h. 112.
[16]Lihat http://eriek.wordpress.com/2010/06/18/selamat-ulang-tahun-kota-palembang/
[17]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), h. 177.
[18]Ibid., h. 177-8. Kerangka berpikir ini selanjutnya digunakan dalam analisis selanjutnya dalam tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar